Gereja Perantauan. Gereja ini sedang mencari dana untuk membangun gedung pastoral dan gereja
Kamis, 17 Oktober 2013
GEREJA: DAPUR BAGI MASYARAKAT
Ketika banjir
melanda beberapa wilayah Jabodetabek, terlihat ada upaya dari pelbagai pihak
memberikan perhatian berupa penyaluran bantuan makanan dan pakaian yang sangat
dibutuhkan oleh warga yang terkena banjir. Banjir, memang dilihat sebagai
musibah rutin tetapi dibalik peristiwa itu bisa terlihat dengan jelas, pelbagai
kelompok atau pun komunitas-komunitas menggerakkan kesadaran masyarakat untuk
berbuat sesuatu demi menyelamatkan mereka yang terkena banjir. Apa yang bisa kita
pelajari dari musibah rutin ini? Bagaimana peran Gereja dalam memberikan
perhatian pada mereka yang terkena banjir? Mengapa Gereja membuka diri bahkan
mendirikan dapur umum dan menyebarkan makanan, hasil masakan umat sendiri?
SEJARAH BERDIRINYA PAROKI SANTA HELENA
Keberadaan Paroki Sta. Helena tidak terlepas dari sejarah keberadaan paroki St. Monika Serpong, yang sebelumnya umat di wilayah ini menginduk. Perkembangan umat semakin membludak maka dipikirkan untuk didirikan sebuah stasi yang diberi nama Stasi St. Helena yang secara resmi berdiri pada Mei 1996. Banyak liku perjalanan yang penuh tantangan telah dilewati oleh stasi ini seperti menceri tempat untuk dijadikan sebagai tempat beribadat sangatlah sulit. Pada awalnya kegiatan stasi terutama beribadat dilakukan secara berpindah-pindah, mulai dari mengontrak rumah umat dan sebagian menggunakan kapel Ignatius de Loyola.

Minggu, 13 Oktober 2013
Rabu, 25 September 2013
DUA MACAM GEREJA
ada dua macam gereja
yang satu, berdiri di
atas tanah
yang dua, bersemayam
dalam jiwa
dua macamnya, satu
sejatinya
ada dua macam gereja
yang satu, terbuat
dari baja dan batu bata
engkau dapat menyegel
dan meruntuhkannya
pelan-pelan atau
seketika
yang dua, tak terperi
sekali, sejati dan
abadi
yang satu, dapat
engkau temukan di mana-mana
dapat pula engkau buka,
tutup, segel, buka dan tutup lagi
yang dua, tak menentu
tempat tinggalnya yang tampak mata
di hati siapa saja,
dia pasti hadir
di dalam jiwa, di
pusat sukma
yang senantiasa
melengkingkan kebesaran nama TUHAN
ke telinga-telinga
orang hidup dan mati
ada dua macam gereja
yang satu,
genteng-gentengnya beterbangan saat badai menerpa
yang dua, kokoh mengabadi
pentungan dan
caci-maki-mu tak mampu menikamnya
senjata dan pisaumu
tak sanggup menyembelihnya
polisi tak sanggup mendekapnya ke
dalam bui
ada dua macam gereja
yang satu, dapat
engkau oleskan darah korban di dindingnya
yang dua, darahnya
justru menjadi benih untuk melahirkan darah-darah segar di alam semesta
dan menyebar serta berkecambah
seluas-luas samudera
yang satu, dapat
engkau matikan semati-matinya
yang dua, engkau tak sanggup
menahannya
karena berkuasakah
engkau menghentikan matahari yang pasti terbit esok pagi?
(gnb:jkt:24.9.13)
·
Refleksi ini terinspirasi oleh puisi Emha Ainun
Nadjib: SERIBU SATU MASJID SATU JUMLAHNYA
Selasa, 24 September 2013
Berjuang 23 Tahun Dapatkan IMB, Lahan Paroki St Bernadet Tetap Digembok Massa Intoleran
Tangerang Selatan. Sekelompok orang berdemonstrasi menentang pembangunan gereja
St Bernadet di Ciledug,Tangerang, Minggu, 22 September 2013. (sumber: Istimewa)
Mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB)
setelah 23 tahun berjuang ternyata tidak menghentikan masalah yang dihadapi Paroki St Bernadet untuk
mendirikan gereja bagi sekitar 11.000 jemaatnya.“Sekelompok orang yang mengatasnamakan warga
berdemonstrasi menentang pembangunan gereja kami hari Minggu pagi kemarin,” kata Pastor
Paulus Dalu Lubur pada Beritasatu.com, Senin (23/9).
Ratusan orang mengenakan baju putih dan ikat kepala merah, Minggu
(22/9), berdemonstrasi di depan lahan milik paroki di kompleks
Tarakanita, Kelurahan Sudimara Pinang, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang
Selatan, yang rencananya akan dibangun gereja untuk menampung 11.000
umat yang selama ini beribadah di enam tempat terpisah. Mereka
menggembok paksa pagar gereja.
“Saya percaya mereka yang datang kemarin mayoritas, atau tidak seratus persen warga di situ. Kami sudah mendapatkan dukungan dari beberapa ustaz, haji, dan pemuka masyarakat di sekitar lokasi rencana pembangunan gereja,” kata Paulus.
Sebelum demonstrasi hari Minggu, ada yang mengedarkan surat ajakan ke warga setempat untuk berdemo. Alasannya adalah rumah ibadah tersebut melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah, khususnya Pasal 13, terkait pendirian rumah ibadah yang harus didasarkan pada keperluan nyata dan berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat bersangkutan.
Pendemo juga menyatakan bahwa pembangunan gereja tersebut melanggar Pasal 14 dari SKB 2 Menteri tersebut tentang dukungan minimal 60 warga yang disahkan oleh lurah. Mereka juga mempermasalahkan penggunaan aula di kompleks Tarakanita sebagai tempat peribadatan sementara, serta mengkhawatirkan kemungkinan Kristenisasi bila gereja tersebut didirikan.
Terkait hal itu, Sekretaris Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Antonius Benny Susetyo mengatakan pada Beritasatu.com bahwa gereja tersebut sudah mendapatkan IMB pada 11 September 2013 dan baru akan memulai pembangunan.
“Gereja baru saja mendapat IMB. Masyarakat sekitar sudah menyetujuinya. Kita berharap agar aparat keamanan memberi jaminan rasa aman,” kata Benny.
Sambil menanti pembangunan gereja, umat Paroki St Bernadet beribadah di empat gedung yang berbeda pada hari Sabtu dan Minggu dan dua minggu sekali di dua rumah jemaat. Salah satu tempat ibadahnya adalah sebuah aula yang juga terletak di kompleks Tarakanita.
Dipaksa Pindah
Kejadian ini adalah protes kedua setelah pada 2004 ketika umat Paroki St Bernadet dipaksa oleh massa intoleran pindah dari Sekolah Sang Timur di Ciledug. Masa intoleran menutup akses ke sekolah Sang Timur yang digunakan oleh Paroki St Bernadet untuk beribadah. Sampai saat ini akses jalan yang ditembok oleh warga belum dibuka.
Paulus mengatakan alasan penolakan tidak berdasar karena mayoritas warga di kompleks Tarakanita beragama Katolik. Namun demikian, pihak Paroki akan tetap mengupayakan membangun relasi baik dengan warga sekitar.
“Kami sedang melakukan bina lingkungan, jadi relasi baik terus dijalankan tidak sebatas untuk mendapatkan IMB saja,” kata Paulus.
Bonar Tigor Naipospos, wakil direktur Setara, mengatakan kepada Beritasatu.com bahwa kelompok intoleran yang berdemo di St Bernadet adalah kelompok yang mobile, tidak menetap di sekitar paroki.
“Selalu mereka menggunakan isu Kristenisasi dengan memengaruhi orang bahwa kalau nanti ada gereja, orang-orang akan menjadi murtad atau pindah agama karena kegiatan-kegiatan sosial gereja. Kelompok ini bergerak ke berbagai tempat dan aktif mencari informasi gereja-gereja mana yang sedang memproses atau belum mendapatkan izin. Lalu mereka berdemo mengatasnamakan warga, meski warga lokalnya paling satu atau dua orang,” kata Bonar.
Bonar mengatakan bahwa berkembangnya kasus-kasus intoleransi di Indonesia sejalan dengan pemerintah daerah yang kerap tidak bisa bersikap tegas terhadap kelompok intoleran. “Ditambah lagi, pemerintah pusat kerap melemparkan tanggung jawab dengan menyatakan bahwa pemerintah daerah yang harus aktif mencari solusi,” kata Bonar.
“Saya percaya mereka yang datang kemarin mayoritas, atau tidak seratus persen warga di situ. Kami sudah mendapatkan dukungan dari beberapa ustaz, haji, dan pemuka masyarakat di sekitar lokasi rencana pembangunan gereja,” kata Paulus.
Sebelum demonstrasi hari Minggu, ada yang mengedarkan surat ajakan ke warga setempat untuk berdemo. Alasannya adalah rumah ibadah tersebut melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah, khususnya Pasal 13, terkait pendirian rumah ibadah yang harus didasarkan pada keperluan nyata dan berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat bersangkutan.
Pendemo juga menyatakan bahwa pembangunan gereja tersebut melanggar Pasal 14 dari SKB 2 Menteri tersebut tentang dukungan minimal 60 warga yang disahkan oleh lurah. Mereka juga mempermasalahkan penggunaan aula di kompleks Tarakanita sebagai tempat peribadatan sementara, serta mengkhawatirkan kemungkinan Kristenisasi bila gereja tersebut didirikan.
Terkait hal itu, Sekretaris Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Antonius Benny Susetyo mengatakan pada Beritasatu.com bahwa gereja tersebut sudah mendapatkan IMB pada 11 September 2013 dan baru akan memulai pembangunan.
“Gereja baru saja mendapat IMB. Masyarakat sekitar sudah menyetujuinya. Kita berharap agar aparat keamanan memberi jaminan rasa aman,” kata Benny.
Sambil menanti pembangunan gereja, umat Paroki St Bernadet beribadah di empat gedung yang berbeda pada hari Sabtu dan Minggu dan dua minggu sekali di dua rumah jemaat. Salah satu tempat ibadahnya adalah sebuah aula yang juga terletak di kompleks Tarakanita.
Dipaksa Pindah
Kejadian ini adalah protes kedua setelah pada 2004 ketika umat Paroki St Bernadet dipaksa oleh massa intoleran pindah dari Sekolah Sang Timur di Ciledug. Masa intoleran menutup akses ke sekolah Sang Timur yang digunakan oleh Paroki St Bernadet untuk beribadah. Sampai saat ini akses jalan yang ditembok oleh warga belum dibuka.
Paulus mengatakan alasan penolakan tidak berdasar karena mayoritas warga di kompleks Tarakanita beragama Katolik. Namun demikian, pihak Paroki akan tetap mengupayakan membangun relasi baik dengan warga sekitar.
“Kami sedang melakukan bina lingkungan, jadi relasi baik terus dijalankan tidak sebatas untuk mendapatkan IMB saja,” kata Paulus.
Bonar Tigor Naipospos, wakil direktur Setara, mengatakan kepada Beritasatu.com bahwa kelompok intoleran yang berdemo di St Bernadet adalah kelompok yang mobile, tidak menetap di sekitar paroki.
“Selalu mereka menggunakan isu Kristenisasi dengan memengaruhi orang bahwa kalau nanti ada gereja, orang-orang akan menjadi murtad atau pindah agama karena kegiatan-kegiatan sosial gereja. Kelompok ini bergerak ke berbagai tempat dan aktif mencari informasi gereja-gereja mana yang sedang memproses atau belum mendapatkan izin. Lalu mereka berdemo mengatasnamakan warga, meski warga lokalnya paling satu atau dua orang,” kata Bonar.
Bonar mengatakan bahwa berkembangnya kasus-kasus intoleransi di Indonesia sejalan dengan pemerintah daerah yang kerap tidak bisa bersikap tegas terhadap kelompok intoleran. “Ditambah lagi, pemerintah pusat kerap melemparkan tanggung jawab dengan menyatakan bahwa pemerintah daerah yang harus aktif mencari solusi,” kata Bonar.
Penulis: Camelia Pasandaran/AB
Sabtu, 21 September 2013
Tolak tuntutan mati, 10.000 dukungan Wilfrida diserahkan ke DPR

Aksi tolak hukuman mati di Bundaran HI, Jakarta (Foto: dokumen)
Lembaga petisi online, Change.org, menyerahkan petisi dukungan penolakan vonis hukuman mati terhadap Wilfrida Soik (20), seorang tenaga kerja Indonesia di Malaysia, ke pimpinan DPR RI. Wilfrida didakwa membunuh majikannya, Yeap Seok Pen (60).
Direktur Kampanye Change.org, Usman Hamid, mengatakan, meski bersalah dalam kasus dugaan pembunuhan, Wilfrida sebenarnya merupakan korban kekerasan yang dilakukan oleh majikannya. Ia terpaksa membunuh majikannya sendiri lantaran kerap disiksa.
“Hari ini kita menyerahkan 10.000 petisi dukungan yang berasal dari warga Indonesia dan Malaysia untuk membebaskan Wilfrida ke pimpinan DPR Pramono Anung,” kata Usman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/9/2013), seperti dilansir kompas.com.
Ia mengatakan, petisi ini pertama kali dibuat pada Selasa (10/9/2013) oleh pegiat buruh migran, Anis Hidayah. Sejak Selasa, setidaknya sudah ada 9.877 dukungan yang menolak Wilfrida memperoleh ancaman hukuman mati.
Rencananya, petisi ini akan diteruskan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala Negara diminta melakukan tindakan yang dapat mencegah Wilfrida divonis mati.
“Kami juga meneruskan petisi ini ke Perdana Menteri Malaysia Dato Seri Najib Tun Razak dan Ketua Pengadilan Tinggi Malaysia Tan Sri Zulkefli Ahmad Makinudin,” ujar Usman.
Korban perdagangan
Sejak Maret 2010, Wilfrida sudah berada di Malaysia. Saat itu, ia menjadi korban perdagangan manusia oleh agensi pekerjaan Lenny di Malaysia. Agenda ini diduga sengaja mencari tenaga kerja asal Indonesia melalui seorang calo bernama Deni.
Calo dan agen dikatakan memalsukan usia Wilfrida pada dokumen tenaga kerja. Saat itu, Wilfrida berusia 17, tetapi pada dokumen itu tertulis 21 tahun. Hal ini bertujuan agar Wilfrida dapat bekerja sebagai TKI di Malaysia.
“Di tahun itu pula, Pemerintah Indonesia juga tengah melakukan moratorium pengiriman TKI ke luar negeri sehingga Wilfrida berstatus ilegal dan menjadi korban perdagangan manusia,” kata Usman.
Ia menambahkan, kasus TKI yang mendapat hukuman mati seperti Wilfrida sebenarnya bukan kasus yang pertama terjadi. Banyak kasus serupa, tetapi Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak maksimal dalam menanganinya. Kedua kementerian tersebut justru saling melempar tanggung jawab ketika terjadi kasus atas TKI.
“Kemenlu merasa kalau mereka hanyalah tukang cuci piring kotor ketika persoalan terjadi, sedangkan Kemenakertrans merasa jika Kemenlu kurang maksimal dalam membela kepentingan TKI,” ujarnya.
Penangkapan biarawati Katolik diprotes

Gereja Katolik dan kelompok hak asasi manusia mengecam penangkapan seorang biarawati Australia, seorang anggota kongres dan sembilan orang lain yang menyelidiki pembagian tanah di perkebunan gula yang sangat luas yang dimiliki oleh keluarga Presiden Benigno Aquino di Luzon tengah.
Kelompok itu termasuk Suster Patricia Fox dari Kongregasi Suster-Suster Zion, seorang pengacara yang mewakili petani miskin, dan oposisi sayap kiri Kongres Fernando Hicap. Mereka ditangkap pada Selasa dan dituduh melakukan makar, penyerangan langsung, pelanggaran dan berniat jahat, kata para pendukung.
Mereka hanya melakukan penyelidikan karena para petani miskin di daerah itu dipaksa menandatangani kesepakatan pembagian lahan, kata Uskup Broderick Pabillo, ketua sekretariat Aksi Sosial Konferensi Waligereja Filipina.
“Mengapa [polisi] mencegah orang-orang yang hanya ingin melakukan penyelidikan apakah pemerintah melakukan tugasnya dengan baik?” katanya.
Pihak berwenang di provinsi itu menolak berkomentar ketika ditanya mengapa para anggota misi itu ditangkap.
Kelompok tani daerah itu Aliansi Petani Luzon Tengah melaporkan bahwa polisi menampar dan memukul sebelas orang yang ditangkap tersebut dan menimbulkan bentrokan.
Warga Filipina Kilusang Magbubukid ng, dari Gerakan Petani Filipina, mengatakan bahwa penangkapan itu menunjukkan “negara teror” di perkebunan gula Hacienda Luisita.
Mahkamah Agung sebelumnya memerintahkan pembagian lahan seluas 6.435 hektar kepada sekitar 6.000 petani.
Sumber: Outcry over arrest of nun in Philippines
Paus Fransiskus: Gereja “terobsesi” gay dan aborsi

Paus Fransiskus, dalam sebuah wawancara panjang pertama selama masa kepausannya yang baru enam bulan, mengatakan bahwa Gereja Katolik Roma telah menjadi “terobsesi” untuk mengkhotbahkan masalah aborsi, pernikahan gay, dan kontrasepsi.
Paus menegaskan bahwa dia memilih tidak membahas isu-isu tersebut walau ada sejumlah tudingan dari beberapa kritikus.
Dalam bahasa yang terus terang, Paus Fransiskus berusaha untuk mengatur sebuah nada baru bagi Gereja. Ia mengatakan, Gereja harus menjadi “rumah untuk semua” dan bukan “sebuah kapel kecil” yang berfokus pada doktrin, ortodoksi, dan agenda terbatas tentang ajaran-ajaran moral.
“Tidak perlu membahas tentang masalah-masalah itu sepanjang waktu,” kata Paus kepada Pater Antonio Spadaro, rekannya sesama Yesuit, dan Pemimpin Redaksi La Civilta Cattolica, jurnal Yesuit Italia, yang isinya secara rutin disetujui Vatikan.
“Ajaran-ajaran dogmatis dan moral Gereja tidak semua setara. Pelayanan pastoral Gereja tidak boleh menjadi terobsesi untuk menyalurkan begitu banyak doktrin yang tidak saling berhubungan dan memaksakannya dengan keras. Kita harus menemukan sebuah keseimbangan baru, kalau tidak bahkan bangunan moral Gereja kemungkinan akan roboh seperti rumah kertas, kehilangan kesegaran dan keharuman Injil,” kata Paus.
Wawancara tersebut dilakukan dalam tiga pertemuan pada Agustus di tempat tinggal Paus di Casa Santa Marta, sebuah Wisma Vatikan. Paus Fransiskus memilih tinggal di sana ketimbang di apa yang dia sebut tempat yang lebih terisolasi di Istana Apostolik, tempat tinggal bagi banyak pendahulunya.
Wawancara tersebut dirilis serentak Kamis (19/9/2013) pagi oleh 16 jurnal Yesuit di seluruh dunia, dan mencakup refleksi panjang Paus tentang identitasnya sebagai seorang Yesuit. Paus Fransiskus secara pribadi memeriksa transkrip wawancara itu dalam bahasa Italia, kata Pastor James Martin SJ, editor lepas majalah Yesuit New York, America, sebagaimana diikuti harian New York Times.
Majalah America dan La Civilta Cattolica secara bersama-sama meminta Paus untuk memberikan wawancara, yang America kemudian publikasikan di majalah dan dalam bentuk e-book.
“Beberapa hal di dalam wawancara itu benar-benar mengejutkan saya,” kata Pastor Martin. “Dia tampak, bahkan lebih berpikiran bebas dari yang saya bayangkan.”
Kata-kata Paus baru itu sepertinya punya reperkusi di dalam Gereja yang para uskup dan imamnya di banyak negara sering muncul untuk memerangi aborsi, pernikahan gay, dan kontrasepsi sebagai prioritas kebijakan publik mereka.
Paus mengatakan, ajaran-ajaran itu “telah jelas” baginya sebagai “putra gereja,” tetapi semua itu harus diajarkan dalam konteks yang lebih luas. “Proklamasi kasih penyelamatan Allah datang sebelum imperatif moral dan agama,” kata Paus.
Sejak awal masa kepausannya pada Maret, Paus Fransiskus telah memilih untuk menggunakan sorotan global untuk fokus pada mandat gereja, yaitu melayani masyarakat miskin dan terpinggirkan. Karena itulah, dia menggunakan nama Fransiskus, merujuk pada Santo Fransiskus dari Asisi, untuk menegaskan keberpihakannya pada orang miskin dan terpinggirkan. Paus Fransiskus telah membasuh kaki para napi remaja, mengunjungi pusat pengungsi, dan memeluk peziarah cacat dalam audiensinya.
Kehadiran pastoral dan sikap sederhananya telah membuatnya sangat populer. Demikian menurut sejumlah survei terakhir. Namun, ada juga suara ketidakpuasan dari beberapa kelompok advokasi Katolik, dan bahkan dari beberapa uskup, yang telah memperhatikan sikap diamnya terkait aborsi dan pernikahan gay.
New York Times melaporkan, awal bulan ini, Uskup Thomas Tobin dari Providence, Rhode Island, AS, mengatakan kepada surat kabar keuskupannya bahwa dirinya “sedikit kecewa terhadap Paus Fransiskus” karena dia tidak berbicara tentang aborsi. “Banyak orang telah memperhatikan itu,” kata uskup itu sebagaimana dikutip.
Wawancara tersebut merupakan kali pertama Paus menjelaskan alasan di balik tindakan dan apa yang oleh sejumlah pihak dilihat sebagai pengabaiannya. Dia juga menjelaskan tentang komentar yang dibuatnya terkait homoseksualitas pada Juli lalu, saat berada di pesawat terbang ketika kembali ke Roma dari Rio de Janeiro, setelah merayakan Hari Pemuda Sedunia.
Dalam pernyataan yang kemudian menjadi berita utama di seluruh dunia, Paus baru itu berkata, “Siapakah saya (sehingga) harus menghakimi?” Ketika itu, beberapa orang mempertanyakan apakah Paus hanya merujuk pada gay dalam kaitannya dengan imamat di Gereja? Namun, dalam wawancara kali ini dia menegaskan bahwa dirinya berbicara tentang gay dan lesbian pada umumnya.
“Seseorang pernah bertanya kepada saya, dengan cara yang provokatif, apakah saya menyetujui homoseksualitas,” katanya kepada Pastor Spadaro. “Saya menjawab dengan pertanyaan lain, “Katakan padaku, ketika Tuhan melihat seorang gay, apakah Dia mendukung keberadaan orang itu dengan cinta, atau menolak dan mengutuk orang itu?” Kita harus selalu menghargai orang tersebut.”
Wawancara itu juga menampilkan sisi Paus sebagai manusia, yang mencintai Mozart dan Dostoevsky serta neneknya, dan film favorit Fellini La Strada.
Wawancara 12.000 kata itu berkembang sangat luas dan mengonfirmasi apa yang selama ini dicurigai orang-orang Katolik bahwa Paus Fransiskus sangat tidak mirip dengan para teolog Gereja maupun para politisi sayap kanan.
Dia mengatakan, sejumlah orang mengira dia merupakan seorang “ultrakonservatif” karena reputasinya ketika dia menjabat superior (pemimpin) Provinsi Yesuit di Argentina. Ia mengatakan, dia menjadi superior ketika berusia masih sangat muda, yaitu 36 tahun, dan bahwa gaya kepemimpinannya ketika itu terlalu otoriter. “Namun, saya tidak pernah menjadi orang yang berhaluan kanan (konservatif),” katanya.
Kini, kata Paus, dirinya lebih suka gaya kepemimpinan yang lebih konsultatif. Dia telah menunjuk sebuah kelompok penasihat beranggota delapan kardinal, sebuah langkah yang katanya direkomendasikan para kardinal di konsistori yang memilihnya. Mereka menuntut reformasi birokrasi Vatikan, kata dia, seraya menambahkan bahwa dari kedelapan orang itu, “Saya ingin melihat bahwa konsultasi ini nyata, bukan konsultasi seremonial.”
Paus mengatakan bahwa “menakjubkan” melihat keluhan tentang “kurangnya ortodoksi” mengalir ke kantor Vatikan di Roma dari kalangan Katolik konservatif di seluruh dunia. Mereka meminta Vatikan untuk menyelidiki atau mendisiplinkan para imam, uskup atau biarawati mereka. Keluhan seperti itu, kata Paus, “lebih baik ditangani secara lokal,” atau kantor Vatikan berisiko menjadi “lembaga sensor”.
Ketika ditanya apa artinya bagi dia “berpikir bersama Gereja”, sebuah frasa yang digunakan pendiri Yesuit, St. Ignatius dari Loyola? Paus Fransiskus mengatakan bahwa hal itu tidak berarti “berpikir bersama hierarki Gereja”.
Dia mengatakan dia memikirkan Gereja “sebagai umat Allah, para pastor dan umatnya. Gereja adalah totalitas umat Allah,” lanjutnya, sebuah gagasan yang dipopulerkan setelah Konsili Vatikan II tahun 1960, yang Paus puji telah membuat Injil jadi relevan dengan kehidupan modern, sebuah pendekatan yang dia sebut “benar-benar tidak dapat diubah”.
Sumber: kompas.com
Kamis, 12 September 2013
“Pewartaan kita percuma jika terjadi pertumpahan darah”

Uskup Weetebula Mgr Edmund Woga CSsR merasa prihatin ketika melihat gerombolan pria berperawakan sangar dan bersenjata lengkap di hampir setiap persimpangan atau pertigaan jalan raya di Weetebula, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada Minggu (1/9) lalu.
Kota nampak sepi dan mencekam. Saat itu uskup baru kembali dari sebuah paroki pedesaan untuk memberikan pelayanan Sakramen Krisma.
“Kelihatannya masyarakat hanya perlu dipicu sedikit saja maka akan terjadi pertumpahan darah, perang kubu melawan kubu, suku melawan suku,” katanya kepada ucanews.com.
Tiga hari sebelumnya terjadi bentrokan berdarah antara para pendukung bupati incumbent dan bupati terpilih menyusul penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan yang diajukan oleh bupati incumbent terkait hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Maret lalu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon Bupati Markus Dairo Talu dan Wakil Bupati Ndara Tanggu Kaha sebagai pemenang dalam Pilkada dengan 81.543 suara atau 47,62 persen dari total suara. Sementara pasangan Bupati (incumbent) Kornelius Kodi Mete dan Wakil Bupati Daud Lende Umbu berada di urutan kedua dengan 79.498 suara atau 46,43 persen dari total suara.
Bentrokan yang terjadi di Desa Bakumbero itu menewaskan tiga orang dan menghanguskan sekitar 20 rumah. Ratusan warga desa terpaksa mengungsi ke kota.
“Rasa-rasanya pewartaan kita percuma jika sampai terjadi pertumpahan darah karena mayoritas (warga) adalah murid Tuhan Yesus,” kata Uskup Edmund.
Setiba di keuskupan, ia menghubungi Kapolres Sumba Barat AKBP Lilik Apriyanto. Namun upaya ini gagal dilakukan. Ia lalu mengirim sebuah pesan singkat (SMS, Short Message Service).
Ia juga menghubungi Vikaris Jenderal Keuskupan Weetebula Pastor Mateus Selan, CSsR dan sejumlah pejabat Gereja lainnya agar ia bisa bertemu sendiri dengan bupati incumbent dan bupati terpilih.
“Ketika saya menelepon, kedua tokoh masyarakat ini dengan sangat polos menyatakan kesediaan mereka untuk datang ke rumah uskup,” kata Uskup Edmund.
Awalnya pertemuan akan diadakan Minggu (1/9) tapi gagal dilaksanakan karena pendukung bupati terpilih ingin ikut mengantar tokoh mereka ke rumah uskup. Pertemuan baru terlaksana keesokan harinya di kantor bupati.
“Pertemuan terjadi dengan sangat mesra dan penuh persaudaraan. Mereka saling berangkulan sebagai orang yang bersaudara dalam satu iman. Hal yang sangat membanggakan,” kata Uskup Edmund.
Bupati incumbent pun sudah menyatakan ikhlas menerima hasil Pilkada dan mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga keamanan dan terus menciptakan perdamaian untuk kelanjutan pembangunan.
Pertemuan itu menghasilkan beberapa poin, diantaranya perdamaian dan persaudaraan di kabupaten adalah keharusan yang tidak bisa ditawar dan seluruh warga agar segera menghentikan pertentangan dan lebih proaktif membangun ketenangan bersama.
Untuk menindaklanjutinya, pemerintah daerah dan aparat keamanan serta sejumlah pihak terkait membangun beberapa posko keamanan. Sosialisasi pun dilakukan dengan bantuan media massa.
“Hasilnya langsung kelihatan keesokan harinya. Suasana tidak lagi mencekam. Orang dapat menjalankan keseharian mereka lagi,” kata Uskup Edmund.
Katharina R. Lestari, Jakarta
Pejuang lingkungan kembalikan penghargaan kepada pemerintah

Tiga pejuang lingkungan asal Provinsi Sumatera Utara (Sumut) mengembalikan penghargaan dari pemerintah yang diterima beberapa tahun lalu karena kecewa atas kerusakan lingkungan di tempat tinggal mereka.
Mereka adalah Hasiloan Manik dari Kabupaten Dairi, Marandus Sirait dari Kabupaten Samosir dan Wilmar Eliaser Simandjorang dari Kabupaten Toba Samosir.
Pada Selasa (3/9) bersama aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) serta beberapa perwakilan masyarakat dari Sumut, mereka mendatangi istana presiden dan kementerian kehutanan.
Ketiganya yang tinggal di daerah sekitar Danau Toba, Sumut merasa kesal karena praktik perusahaan hutan dan lingkungan yang terus terjadi dan seakan dibiarkan pemerintah.
“Untuk apa saya menyimpan [penghargaan] ini di rumah saya, sementara lingkungan di sekitar saya rusak berat”, kata Hasiloan penerima penghargaan Kalpataru pada 2010.
Ia mengatakan, pemerintah bekerja sama dengan perusahan dalam membabat hutan. “Kami telah dizolimi oleh pemerintah. Tidak ada manfaatnya lagi penghargaan ini”, katanya.
Sementara itu, Wilmar, penerima penghargaan Wana Lestari yang menanam sebanyak 64 ribu pohon di kawasan Gunung Pusuk Buhit mengaku kesal dengan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan masa depan mereka.
“Kami menanam pohon, tapi pemerintah memberi izin kepada orang-orang dekatnya untuk membabat habis hutan itu”, jelas mantan Bupati Toba Samosir ini.
“Akibatnya, banyak sungai yang mati. Air Danau Toba sudah kotor. Kalau mandi, badan kami gatal-gatal. Kondisinya sudah berbeda jauh dengan beberapa tahun lalu”.
Persoalan ini menurut dia, sudah disampaikan kepada Kejaksaan Agung di Jakarta, juga ke Mabes Polri. Tapi, katanya, sampai sekarang tidak ada tindakan lebih lanjut.
“Karena itulah, kami mengembalikan penghargaan ini. Tidak ada gunanya. Lebih baik kami tanam pohon, daripada memelihara penghargaan ini. Yang memberi penghargaan ini saja tidak peduli dengan apa yang kami alami”, ungkapnya.
Ketika hendak menyerahkan trofi kalpataru kepada Presiden yang diwakili petugas pihak istana sempat terjadi adu mulut.
Pihak istana meminta agar penghargaan ini diserahkan kepada pihak Humas tanpa kehadiran media. Namun, aktivis bersikeras agar media diperkenankan meliput.
Silang pendapat ini menyebabkan Kalpataru mereka letakkan saja di jalanan di depan gerbang istana. Selang sejam kemudian petugas dari Kementrian Lingkungan Hidup akhirnya datang mengambil trofi tersebut.
Sementara penghargaan Wana Lestari diserahkan ke pihak Kementerian Kehutanan.
Kabuaten Kabupaten Dairi, Samosir dan Toba Samosir adalah 3 dari 7 Kabupaten yang terletak di sekitar Danau Toba.
Menurut Mudji Priatna, aktivis Walhi, kerusakan hutan di 3 kabupaten tersebut mencapai 4800 hektar. Hal ini, belum termasuk di 4 kabupaten lainnya.
“Kami perkirakan, kerusakan hutan di sana akan terus bertambah dalam beberapa tahun ke depan, berhubung pemerintah setempat terus mengeluarkan izin bagi pembukaan lahan baru”, katanya kepada ucanews.com di sela-sela aksi.
Ryan Dagur, Jakarta
Berita terkait: Indonesian activists return awards in protest
Romo Benny: Caleg Kristiani jangan andalkan Gereja untuk meraih suara

Romo Antonius Benny Susetyo (kiri) dan Jeirry Sumampow (moderator)
Romo Antonius Benny Susetyo meminta para calon legislatif (caleg) Katolik dan Protestan bukan hanya melakukan mobilisasi di dalam lingkungan Gereja, tapi membangun jaringan yang luas di luar Gereja bila mereka ingin merebut suara yang banyak.
“Para caleg Kristen tidak hanya melakukan mobilisasi, tapi harus cerdas dan cerdik serta membangun jaringan yang luas,” kata Romo Benny, yang juga sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama Konferensi Waligereja Indonesia, dalam sebuah seminar tentang Regenerasi Kepemimpinan Nasional di Jakarta, Senin (2/9).
Ia mengamati daftar caleg sebagian besar adalah wajah lama yang saat ini masih berada di legislatif. “Harapan kita sudah tipis karena perubahan tidak akan terjadi karena wajah-wajah lama masih jadi caleg. Untuk itu para caleg baru harus punya strategi agar mereka bisa mengalahkan wajah lama, kalau tidak Anda akan gagal,” kata Romo Benny di hadapan sejumlah caleg Katolik dan Protestan, yang turut hadir dalam seminar itu.
Menurut Romo Benny, untuk memenangkan pemilu anggota legislatif 2014, para caleg tersebut harus kreatif dan inovatif. Cara-cara mendekati konstituen dari kalangan Gereja dinilai tidak akan mampu mengantarkan Anda memenangi pemilihan legislatif.
“Caleg Kristen harus memiliki banyak jaringan dan jangan andalkan di lingkaran Gereja karena jumlah orang Kristen sangat sedikit. Kita harus berani keluar dari lingkungan kekristenan untuk merebut suara dari komunitas lain,” lanjut Romo Benny.
Kalau Anda mau menjadi garam dan terang, ajak Romo Benny, masuklah lintas batas. Gunakanlah media sosial seperti Twitter, Facebook untuk tampilkan diri Anda serta visi dan misi Anda.
Menurut Romo Benny, berpolitik itu sebenarnya tidak identik dengan agama, namun melayani publik dengan gagasan yang aspiratif.
“Maka caleg Kristen harus mampu menunjukkan dirinya bahwa dia mengatasi batas-batas kesukuan dan keagamaan, serta punya integritas dan kemampuan, memiliki kejujuran, serta keberanian untuk merubah pilihan-pilihan,” kata Romo Benny.
Ia menambahkan Anda harus meneladani pelayanan Yesus karena pelayanan Yesus itu tulus dan tidak elitis.
Pengamat Pemilu dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti juga mengatakan selain merindukan pemimpin yang berani membebaskan negara dari utang, rakyat Indonesia membutuhkan caleg yang punya sikap tegas, cerdas, dan bersahaja.
Ray pun berharap, masyarakat tidak memilih caleg 2014 yang hanya ingin meneruskan kebijakan pemerintahan SBY terkait hobi berutang.
“Mulai saat ini masyarakat perlu jeli, kritis dan bersikap hati-hati. Caranya, dengan tidak memilih caleg yang pro asing, yang gemar utang luar negeri, dan tidak punya kemandirian bangsa,” tegasnya.
Acara seminar tersebut ditampilkan sejumlah caleg dari Katolik dan Protestan untuk memperkenalkan diri mereka serta menyampaikan visi dan misi mereka.(Sumber: Ucanews.com)
Aniaya pastor, keponakan bupati terancam 2 tahun penjara

04/09/2013
Romo Oktovianus Neno (duduk, kedua dari kiri).
Yohanes Fransiskus Junior Lopez alias Papi (27), pelaku penganiayaan terhadap Pastor Pembantu Paroki Roh Kudus Halilulik, Keuskupan Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Romo Oktovianus Neno, Kamis (29/8/2013) dini hari lalu, terancam hukuman dua tahun penjara.
Hal itu disampaikan Wakil Kepala Kepolisian Resor Belu, Komisaris Johny Muskanan, kepada Kompas.com, Rabu (4/9/2013).
“Tersangka sampai saat ini ditahan di dalam sel Mapolres Belu dan terkait tindakannya itu, pasal yang dikenakan yakni 351 ayat 1 dan 4 KUHP dan pasal 310 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukumannya dua tahun penjara,” kata Muskanan.
Muskanan juga membantah tudingan dari sejumlah pihak yang menilai Polres Belu tidak serius melakukan proses kasus itu lantaran pelaku masih keponakan Bupati Belu, Joachim Lopez. ”Untuk kasus ini, Polres Belu sangat serius, buktinya pelaku tetap ditahan sampai hari ini dan prosesnya tetap berjalan,” kata Muskanan.
Diberitakan sebelumnya, Romo Oktovianus Neno dianiaya dua pemuda mabuk di jembatan Beko, Lokfau, Desa Naitimu, Kecamatan Tasifeto Barat, Kamis sekitar pukul 01.30 Wita.
Romo Oktovianus mengaku bahwa peristiwa itu terjadi saat dia dalam perjalanan pulang dari menghadiri resepsi pernikahan kerabatnya di Nana Rae, Desa Naitimu, sekitar pukul 01.14. Tepat di jembatan Beko, Oktovianus dicegat oleh segerombolan pemuda yang sedang pesta miras.
“Saya pun berhenti dan menurunkan kaca mobil bermaksud menanyakan alasan saya dicegat,” ungkap Romo Oktovianus.
Ia mengaku mengenali dua pemuda yang mendatanginya, yakni Nando Lopez dan Papi Lopez. Tanpa bicara apa-apa, keduanya langsung mematikan dan merampas kunci mobil.
“Saya pun dipukuli oleh keduanya sebanyak tiga kali di bagian kepala hingga mengalami memar dan pusing-pusing,” sambung Romo Oktovianus.
Selain menganiaya, dua pemuda itu juga memakinya. “Saya dimaki oleh Nando dan Papi. Lalu mereka pukul kepala saya sehingga karena sedikit emosi saya lalu balas pukul satu kali,” tuturnya.
Ketika Nando dan Papi memukuli Romo Oktovianus, pemuda-pemuda yang ada di sekitar lokasi diam saja. Nano dan Papi kemudian kabur, sementara Romo Oktovianus kembali ke pastoran.
Kabar pemukulan itu dengan cepat menyebar ke warga. Mendengar tokoh agamanya dianiaya, ratusan warga mendatangi Gereja Roh Kudus Halilulik. Mereka mencari Nando dan Papi.(Sumber:ucanews.com)
Senin, 19 Agustus 2013
KATA PENGANTAR
Pada bagian kata pengantar ini
hanya mau mengantar umat beriman. Maka kata pengantar harus disampaikan suatu
penjelasan amat singkat mengenai tema atau isi misteri iman yang dirayakan
dalam perayaan ekaristi saat itu. Oleh karena itu, kata pengantar ini mesti
jelas, padat dan singkat, tidak berkepanjangan serta perlu dipersiapkan dengan
baik.
Adapun yang boleh menyampaikan
kata pengantar ialah imam yang memimpin perayaan Ekaristi itu sendiri atau imam
lain atau diakon atau pelayan yang lain. PUMR menyatakan: “Setelah imam
menyampaikan salam kepada umat, imam atau diakon atau pelayan lain dapat
memberikan pengantar sangat singkat kepada umat tentang perayaan Ekaristi yang
akan dirayakan (PUMR no.50). Jadi, kata dapat dalam pernyataan di atas
menunjukkan bahwa kata pengantar tidaklah mutlak, boleh dilewati.
Para ahli liturgi umumnya
memberi catatan bahwa dalam pengantar ini sebaiknya tidak disampaikan ulasan
(semacam homili singkat) mengenai bacaan yang akan didengarkan nanti. Akan
tetapi, apabila isi bacaan itu memang menjadi sumber dan asal usul tema yang
sedang dirayakan atau isi bacaan itu membantu persiapan tobat, maka pengantar
boleh menyinggung bacaan. Yang penting ialah perlu dibedakan dengan tegas antara
pengantar dan homili. Yang tidak dianjurkan ialah pemindahan homili pada bagian
pengantar ini, sementara umat belum mendengar bacaan. PUMR malah menyarankan
bahwa antifon pembuka yang terdapat dalam Missale Romawi bisa dimanfaatkan
sebagai isi pengantar ini (lih.PUMR 48).
TOBAT
Ritus tobat menjadi saat umat
beriman menyampaikan penyesalan dan pertobatan atas dosa dan kesalahannya
kepada Tuhan dan sesama. Tobat yang sejati mengalir dari tanggapan kita atas
kasih dan kebaikan Allah yang lebih dahulu kita alami. Jadi, pertobatan kita
bukanlah pertobatan demi menimbulkan belas kasih Allah, melainkan justeru
karena telah disapa oleh belas kasih Allah tersebut.
TPE 2005 menyampaikan 4 bentuk
ritus tobat. Tiga bentuk pertama memiliki struktur yang sama, yaitu ajakan
untuk bertobat, hening, pernyataan tobat dan permohonan pengampunan (absolusi).
Absolusi ini tidak memiliki kuasa pengampunan seperti absolusi dalam sakramen
tobat. Itu berarti, imam tidak boleh membuat gerakan yang sama seperti saat ia memberikan
absolusi dalam penerimaan sakramen tobat.
Cara 1: Imam mengajak umat
menyesali dan mengakui dosa. Menanggapi ajakan tersebut, umat (berlutut dan )
hening sejenak. Kemudian, seluruh umat mengakui dosanya disertai sikap tobat,
yakni dengan rumusan kata-kata: Saya mengaku – kepada Allah yang
mahakuasa….Baris berikut diucapkan sambil menebah dada. Saya berdosa, saya
sungguh berdosa…….Sesudah pernyataan tobat, imam memohonkan pengampunan. Perlu
dicamkan bahwa pengampunan di sini berbeda dengan absolusi yang diberikan imam
dalam sakramen tobat. Maka, kita (imam dan umat) tidak membuat tanda salib
ketika imam mengucapkan permohonan ampun. Dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan
jelas ditulis. “Dengan tangan terkatup” imam mengucapkan rumus absolusi. Kebiasaan
tanda salib ini berasal dari rumus tobat Misale Trente yang sudah dihapus dalam
Missale Romanum 1970. Tobat cara 1 ini disusul Tuhan, kasihanilah kami.
Cara 2: Ciri khas tobat cara 2
ialah umat menyatakan tobat dengan mendaras mazmur tobat. TPE 2005 menyediakan
4 macam tobat cara 2 yaitu yang diambil dari Missale Romanum, Mzm 32, mzm 51,
Mzm 103. Tobat cara 2 disusul, Tuhan kasihanilah kami.
Cara 3: Tobat cara 3 menggunakan
pola litani kyrie. Artinya, imam mengucapkan suatu pernyataan iman mengenai Kristus
dan kemudian disambung dengan seruan pernyataan tobat yang bersifat
penghormatan dan permohonan kepada Kristus: Tuhan (atau Kristus) kasihanilah
kami dan dijawab oleh umat: Tuhan (atau Kristus) kasihanilah kami. Kalau
dipakai tobat 3, tidak lagi diucapkan / dilagukan Tuhan kasihanilah kami secara
tersendiri karena tercakup dalam tobat cara 3.
Cara 4: Tobat cara 4 ini cocok digunakan pada hari
Minggu atau hari raya, terutama masa Paskah karena menggunakan pemercikan air
suci sebagai peringatan akan pembaptisan. Senin, 12 Agustus 2013
Archbishop Turang

Archbishop Petrus Turang
Archbishop's Residence, Jl. Thamrin No. 15 Oepoi, Kupang 85111, East Nusa Tenggara, Indonesia
(62) 380-826199
Fax :(62) 380-833331
kak_oepoi@plasa.com
Archbishop Petrus Turang was born, on Feb. 23,
1947, in Manado, North Sulawesi province. He was ordained a diocesan
priest on Dec. 18, 1974, taking as his priestly motto a quotation from
St. Irenaeus: Gloria Dei, Homo Vivens (The glory of God must be made
real in human life). He was appointed Archbishop of Kupang on April 21,
1997. His episcopal ordination followed two months later on July 27,
1997. His Episcopal motto is Pertransiit benefaciendo (He went about
doing good, Acts 10:38).
Previous Ordinaries:
- Archbishop Gregorius Manteiro, SVD (1967-1998)
Bishop Ladjar

Bishop Leo Laba Ladjar
Jl. Kesehatan No. 6 Dok II, P.O. BOX 1379, Jayapura 99112, Papua, Indonesia
(62) 967-536411, 533092, 533277
Fax : (62) 967-536427
leolladjar@jayapura.wasantara.net.id
Bishop Leo Laba Ladjar, OFM, was born in Baoraja,
Lembata, East Nusa Tenggara province, on Nov. 4, 1943. He was ordained a
Franciscan priest on June 29, 1975. He was appointed Auxiliary Bishop
of Jayapura by Pope John Paul II on Jan. 6, 1994, and he was ordained a
bishop three months later on April 10. He was appointed Bishop of
Jayapura on Aug. 10, 1997. During a formal ceremony of "canonical
possession" held at Christ the King Cathedral in Jayapura on Sept. 21
that year, his missionary predecessor, Franciscan Bishop Herman Farina
Marie Manning, turned over leadership of the diocese to its first native
Indonesian bishop.
Previous Ordinaries:
- Bishop H.F.M. Munninghoff, OFM (1972-1997)
- Bishop R.J. Staverman, OFM (1966-1972)
Archbishop Seputra

Sacred Heart Archbishop Nicolaus Adi Seputra
Keuskupan Agung Merauke, Jl. Raya Mandala No. 30, Merauke 99602, Papua, Indonesia
+62971 - 321011
Fax :+62971 - 326574 / 324125
nikoadi@yahoo.com
Sacred Heart Archbishop Nicolaus Adi Seputra was
born in Purwokerto on Dec. 6, 1959. He was ordained a priest on Feb. 1,
1989. Pope John Paul II appointed him Archbishop of Merauke on April 7,
2004. His episcopal ordination was on July 25, 2004. Archbishop Adi
Seputra's motto is "Pasce oves meas" (tend my sheep - John 21-16). The
archbishop speaks Bahasa Indonesia.
Previous Ordinaries:
- Archbishop Emeritus Duivenvoorde Emeritus Jacobus (1972-2004)
- Archbishop Jacobus Duivenvoorde, MSC (1972-2004)
- Archbishop Hermanus Tillemans, MSC (1966-1972)
Bishop Kopong Kung

Bishop Fransiskus Kopong Kung
Jl. Mgr. Miguel Rangel 1-2, San Dominggo, Kelurahan
Larantuka, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, East Nusa
Tenggara 86213, Indonesia
+62383 - 21170
Fax :+62383 - 21443
sandokl@plasa.com
Bishop Fransiskus Kopong Kung was born on Aug. 3,
1950, in Lamika, East Nusa Tenggara. He was ordained a priest for
Larantuka diocese on June 29, 1982. He was appointed coadjutor bishop of
the diocese on Oct. 2, 2001, and ordained a bishop on Jan. 10, 2002.,
with the episcopal motto: "I am the handmaid of the Lord" (Luke 1:38)
and "So that they mall be one; that the world may believe that you sent
me" (John 17:21). He succeeded as Bishop of Larantuka on June 16, 2004.
Previous Ordinaries:
- Bishop Wilhelmus Darius Nggawa, SVD (1974-2004)
- Bishop Antonius Hubertus Thijssen, SVD (1961-1973)
- Vicar Apostolic Bishop Gabriel Manek, SVD (1951-1961)
Bishop Murwito
Keuskupan Agats, Jl. Ahmad Yani No. 2, Agats, Asmat District, Kotak Pos 14, Timika 99910, Papua, Indonesia
(62) 902-31056 (Office); 31057 (Residence)
Fax :(62) 902-31058
uskup-agats@uuplus.com
Bishop Aloysius Murwito, OFM, was born on Dec. 20,
1950, in Sleman, Yogyakarta Special Province, on Java Island, 405
kilometers east of Jakarta, He was ordained a Franciscan priest on July
7, 1982, and appointed Bishop of Agats on April 30, 2002, his ordination
as bishop following on Sept. 15 that year. The diocese is in Papua
province, easternmost Indonesia. Bishop Murwito's episcopal motto is In
Deo speravi, non timebo (In God I hope, I shall not fear).
Imam terkenal sebagai motivator orang muda telah wafat

Mendiang Romo Yohanes Senda Laka (berdiri)
Pada Selasa, 6 Agustus 2013, umat Katolik Keuskupan Atambua berduka karena seorang imam di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste ini meninggal dunia akibat serangan jantung.
Pastor Yohanes Senda Laka, 43, dikenal memiliki pengalaman sebagai motivator bagi kaum muda dan juga kelompok-kelompok organisasi Gereja ini meninggal di kamarnya di Seminari Tinggi Lo’o Damian Nela, Atambua.
Imam yang ditahbiskan 15 tahun lalu ini sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong.
Setelah mendengar kematian pastor yang mengambil studi konseling di Universtas De La Sale Filipina ini, para kerabatnya datang baik dari Keuskupan Atambua, maupun dari Kupang, Flores, Jakarta.
Hingga wafatnya, ia menjabat sebagai staf formator Seminari Tinggi Tahun Orientasi Rohani Antardiosesan Lo’o Damian Emaus Nela, Atambua, wakil ketua Komisi Keluarga Keuskupan Atambua, serta moderator Kelompok Karimatik Keuskupan Atambua.
Ia juga dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira Kupang, Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral Kefamenanu dan Atambua, Akademi Keperawatn Kabupaten Belu, dan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Fajar Timur Atambua, serta advisor pada Domus Cordis Jakarta yang memperjuangkan spiritualitas Teologi Tubuh di kalangan kaum muda.
Selain itu, ia juga menjadi fasilitator pada berbagai training dan leadership di Keuskupan Atambua, memberi berbagai kegiatan retret dan rekoleksi terutama bagi kaum muda wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Pastor alumnus Seminari Tinggi Ritapiret Maumere, Flores, NTT, yang ditahbiskan menjadi imam pada 7 Oktober 1999 di Katedral Atambua ini, juga aktif bergerak di bidang ekonomi keuskupan dengan mengembangkan Credit Union Kasih Sejahtera. Berkat motifasi dan dorongannya, para anggota CU ini memiliki sejumlah prestasi dengan konsep mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Salah satu umat keuskupan Atambua yang cukup mengenal Romo Yance mengatakan, “Romo Yance merupakan seorang pribadi yang rendah hati dan memiliki pemikiran-pemikiran yang segar. Di komunitas mana saja jika ada Romo Yance pasti ia memberikan kontribusi yang cukup penting dalam pengembangan komunitas ke depannya”, ungkap umat yang tidak mau menyebutkan namanya.
Romo Yance dimakamkan di pemakaman imam projo Keuskupan Atambua pada Kamis (8/8/2013), dihadiri para imam yang berkarya di Keuskupan Atambua, utusan pemerintah setempat, pihak keluarga, tokoh adat dan masyarkat, para biarawan-biarawati.
Misa dan upacara pemakaman dipimpin langsung oleh Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku.
Fransiskus Pongky Seran, Atambua
sumber: www.ucanews.com
Temu OMK Keuskupan Manado tekankan kebersamaan dan solidaritas
![]() |
Mgr Joseph Suwatan MSC memukul gendang untuk membuka pertemuan OMK |
Kegiatan ini sendiri diawali dengan Misa bersama, yang bertempat di Gedung Audiotorium Kompleks Universitas Negeri Manado (UNIMA), sebagai konselebran utama Uskup Manado, Mgr Joseph Suwatan MSC bersama 18 imam.
Sebagian besar imam yang bertugas di paroki-paroki turut bersama-sama menghantar muda-mudi di parokinya untuk menghadiri kegiatan Pertemuan Berkala (PB) ini.
Uskup Suwatan dalam homilinya mengatakan semua berkumpul untuk mengalami satu kebersamaan. Mereka semua berkumpul untuk mengalami suka dan duka bersama.
“Kebersamaan yang sama juga dialami oleh mereka yang mengikuti World Youth Day di Brasil. Paus saat itu juga menekankan solidaritas antar sesama kaum muda,” katanya, seperti dilansir tribunmanado.com.
Uskup kemudian mengharapkan agar dalam lingkungan orang-orang muda ada sikap saling menolong dan memperkuat antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, menurut uskup, mereka bisa bersama untuk menuju kedewasaan. “Semoga kalian menjadi tanda keadilan dan keselarasan satu dengan yang lain,” katanya.
Sebagai orang beriman, anak muda bukan hanya sekedar manusia, tapi juga sebagai pengikut Kristus. “Orang muda harus melanjutkan pesan Kristus di kayu salib,” ujarnya.
Orang muda juga dituntut untuk sanggup mengungkapkan identitas Kristus seperti Petrus. Petrus saat itu mengungkapkan identitas Yesus melalui kepercayaannya sendiri.
“Ia mengungkapkan identitas Yesus sebagai Mesias. Ia percaya bahwa Yesus datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Ia mengungkapkannya secara gamblang dan penuh keyakinan,” katanya.
Atas kepercayaan itu, akhirnya Yesus mempercayakan Gereja kepada-Nya. “Yesus berkata, Engkaulah Petrus di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku. Kepada Petrus si Batu Karang itu Yesus mendirikan Gereja-Nya. Kunci Kerajaan Surga pun diberikan kepada Petrus,” ujarnya.
Cara pengungkapan identitas Yesus, lanjut prelatus itu, ialah menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti-Nya. “Akhirnya selamat melakukan kegiatan,” tandasnya.
Kegiatan itu pun didukung pemerintah daerah. Bupati Minahasa Jantje Sajow, Wakil Bupati Minahasa Ivan Sarundajang dan Sekda Minahasa pun semuanya datang menghadiri.
Bupati Sajow dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas dipilihnya Tataaran menjadi tuan rumah. Baginya ini sebuah kepercayaan besar. “Saya dengar ada kegiatan pembersihan eceng gondok. Ini sungguh membantu pemerintah,” katanya.
Pemerintah, kata Sajow, sudah menganggarkan Rp 1 miliar di tahun depan untuk pembersihan eceng gondok itu.
Saat pembukaan itu, hadir pula Ketua Komisi Kepemudaan, Pastor Joutje Palit dan Ketua Panitia Petrus Rampengan. Mereka juga didampingi seorang umat pemberi bantuan kegiatan Hendrik Luntungan.
Sementara itu, di hari pertama kegiatan seni Paroki Santo Joseph Pekerja berhasil meraih Juara Satu Lomba Tari Jajar. Urutan kedua dipegang oleh Paroki Hati Kudus Yesus Tomohon dan juara ketiga dipegang oleh Paroki Santa Ursula Watutumou.
Foto: okezone.com
Sumber: www.ucanews.com
KOMUNI PERTAMA
Dalam
khotbahnya yang singkat, Romo Andy terlebih dahulu menanyakan kepada para
peserta komuni pertama, mengapa Yesus memperkenalkan diri sebagai roti dan
bukan yang lain? Yesus selalu bertolak pada sejarah masa lampau. Umat Israel,
ketika mengembara di padang gurun, mereka mengalami kelaparan dan mereka
bersungut-sungut kepada Musa yang telah membawa mereka keluar dari Mesir. Allah
selalu memperhatikan umat-Nya sehingga Ia menurunkan roti manna di padang gurun
agar umat Israel bisa makan dan bertahan hidup.
Dalam malam
perjamuan terakhir, Yesus juga menggunakan roti untuk makan bersama para
mudir-Nya. Kenangan di malam perjamuan terakhir itu kemudian dilanjutkan oleh
Gereja dengan merayakan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi, Yesus membagikan
diri menjadi santapan rohani. Menurut Romo Andy dalam khotbahnya, bahwa
“menerima tubuh Kristus berarti adik-adik bersedia membagi diri dengan orang
lain.” Seperti Kristus yang telah membagi diri untuk orang lain, kita pun sama.
“Adik-adik selalu siap sedia untuk membagi diri untuk orang tua di rumah dan
teman-teman di sekolah,” tandas Romo Andy.
Iman kepada Yesus tidak berhenti pada penerimaan komuni pertama,
melainkan terus dipupuk terutama dalam lingkup keluarga agar anak-anak bisa
mengenal Yesus secara lebih baik. Pertumbuhan iman anak-anak bukan sekali jadi
tetapi butuh proses. "Bimbingan kami selama kurang lebih enam bulan
tidak ada artinya apa-apa kalau tidak dilanjutkan oleh orang tua. Kami hanya
mengantarkan mereka untuk menerima komuni pertama dan pertumbuhan iman
selanjutnya menjadi tanggung jawab orang
tua,” tandas salah seorang panitia. Setelah perayaan ekaristi dilanjutkan dengan acara foto bersama. ***(Valery Kopong)
SIAPAKAH AKU DALAM GEREJA?
Oleh: Valery Kopong*
Persaudaraan Siswa-siswi Negeri
Katolik atau lebih dikenal dengan nama “Persink,” merupakan kelompok siswa-siswi
yang berasal dari sekolah-sekolah negeri yang selama ini dihimpun untuk
diajarkan mengenai pelajaran Agama Katolik. Hampir semua paroki memiliki
paguyuban ini dan paguyuban ini lahir dari sebuah keprihatinan bersama yakni
bahwa anak-anak Katolik yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri,
sepertinya “dianaktirikan” oleh pihak sekolah. Mereka tidak mendapat pelajaran
Agama Katolik karena guru-guru Agama Katolik tidak disediakan oleh
pihak sekolah negeri.
Paguyuban yang dibentuk atas
dasar keprihatinan ini digarap secara baik oleh para pengajar. Para pengajar
tidak hanya mengajarkan pelajaran Agama Katolik tetapi juga pengembangan
kepribadian siswa-siswi melalui
kegiatan-kegiatan rohani. Kelompok paguyuban siswa-siswi Katolik yang
berada di Gereja Paroki Santo Gregorius yang sudah berusia 7 tahun ini,
mengadakan “rekoleksi pantai” pada
tanggal 9 Juni 2013 di pantai Pasir Putih-Anyer-Banten. Pada sesion pertama
yang dibawakan oleh Ibu Rika Nusmese, menyoroti tema: “Siapakah Aku Dalam Keluarga?” Para peserta
yang berjumlah lima puluhan orang diajak untuk melihat diri dan peranannya dalam
keluarga. Sementara itu dalam sesion kedua yang dibawakan oleh Valery Kopong,
menyoroti tema: “Siapakah Aku dalam Gereja dan Siapakah Aku Bagi Sesama”
Setiap orang yang
menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah
aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun
seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup
menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja
yang dimaksudkan di sini adalah umat
Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling
sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh
Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?
Dibaptis Untuk Gereja
Ketika
orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai
anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya
tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis
berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus
hidup dalam diri setiap orang yang sudah
dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian
melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup
Gereja maupun di luar Gereja.
Melihat
peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks
tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya
bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat
menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis
mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri
setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa
jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang
sudah dibaptis?
Konsep
Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki,
artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus
dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun
selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan
bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak
melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan
dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja
seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan
tentang Kristus.
Istilah
kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum
awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan
dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara
tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota
Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap
Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga
mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.
Dalam
refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang
memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat,
sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian
melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan
konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan
menggereja.
Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?
Ketika
ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana,
yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang
telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap
anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi
hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang
dimilikinya. Sejalan dengan ini,
lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat
sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.
Sebagai
anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh
berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan
perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan
sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai
seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda
dalam memainkan peran di Gereja. Anak-anak
bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang
dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra
altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka
yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak
memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang
yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?
Bagi
mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti
menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya
dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan
kegiatan-kegiatan doa yang lain. Sumbangan
yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita
temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama
dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan
mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita
sedang menanamkan benih-benih kebaikan.
Siapakah Aku Bagi Sesamaku?
Manusia
hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia
tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan
menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang
kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan
tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong
dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari
masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.
Kisah
orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap
orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria
mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan
leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap
primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada
akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
Membangun
sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan
diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah
pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain
selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain.
Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di
kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik
dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Dalam
lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat
sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai
alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita
punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam
mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan
tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat
dalam kisah pengorbanan Kristus.***
Langganan:
Postingan (Atom)