widget

Kamis, 06 Juni 2013

BERJAGA-JAGA



Berjaga atau berjaga-jaga hampir pasti  pernah kita alami dan lakukan. Paling tidak pernah kita dengar atau lihat prakteknya dalam berbagai bentuk kegiatan,profesi atau peristiwa. Seorang ibu atau ayah yang baik dengan setia berjaga menemani anak atau anggota keluarganya yang sedang terbaring sakit di rumah sakit atau di rumah. Para dokter dan perawat rela berjaga melayani pasiennya. Security siap berjaga-jaga menjaga, mengawasi dan mengamankan wilayahnya termasuk kesigapan  membukakan pintu untuk tuan dan tamu-tamu yang datang. Singkatnya dalam berjaga apapun bentuknya membutuhkan satu persiapan dan kesungguhan hati agar pekerjaan itu bermakna bagi diri kita.
                Aneka tujuan, rasa dan  pengalaman baik suka maupun duka dapat kita petik dari “pekerjaan” berjaga itu. Dalam perumpamaan  tentang lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh (Mat 25:1-13) dengan jelas mengungkapkan perasaan itu. Mereka semua sangat antusias untuk berjaga menanti Sang Mempelai. Semangat suka cita dan kegembiraan memenuhi hati mereka dikala mendengar akan datangnya “Tamu Agung “ yang telah lama dinanti kehadirannya. Maka segala persiapan lahir dan bathin tentu telah disiapkan secara lebih khusus.
Apa yang terjadi?
Di tengah suasana kegembiraan itu, ternyata ada juga sekelompok orang yang diwakili wanita-wanita bodoh tampil dengan seadanya. Tidak mempersiapakan diri dengan matang secara lahir dan batin. Ditengah penantian kedatangan “mempelai laki-laki” kelelahan dan kejenuhan mulai melanda mereka. Persediaan minyak dalam botol untuk mempertahankan pelita agar tidak redup dan mati nyatanya tidak ada. Upaya meminjam kepada sesama (=gadis-gadis yang bijak) pun sia-sia. Alasannya adalah tidak bakal mencukupi untuk mereka mengingat saat penantian semakin tidak jelas. Jam berapa Sang mempelai akan datang/tiba semakin tidak menentu sementara malam semakin larut. Maka lebih baik mereka(=gadis bodoh) membeli ditempat lain. Risikonya adalah jika mempelai datang saat mereka masih keluar membeli minyak pasti mereka tidak dapat bertemu mempelai lagi.
Dan memang terjadi. Pada saat gadis-gadis bodoh itu masih berada di luar membeli minyak, datanglah mempelai itu. Mereka yang setia berjaga (telah siap) akhirnya ikut masuk bersama mempelai dan rombongan ke dalam perjamuan makan. Pintu lalu dikunci! Sementara gadis-gadis bodoh akhirnya ketinggalan diluar. Tidak dapat masuk karena pintu telah dikunci. Si empunya pesta tidak peduli lagi akan panggilan dan teriakan orang dari luar. Inilah satu risiko yang harus ditanggung karena kesempatan tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan jawaban yang diterima sangat menyedihkan: Tidak mengenal mereka.
Faktor kesiapan dalam berjaga pun juga bisa menjadi ukuran kebijakan atau kebodohan kita. Kriteria kelayakan untuk siap masuk bersama mempelai atau tidak. Menyiapkan minyak dalam botol tampaknya sederhana namun sangat menentukan agar pelita kita tetap bernyala. Sekali lagi faktor “berjaga-jaga”. Berajaga-jaga menantikan mempelai itu soal yang sangat serius. Kendati yang menjadi penentu dan kepastian ada di tangan Sang Mempelai yang akan datang. Waktu ada ditangan-Nya. Konsekwensinya sangat  jelas kita diingatkan agar belajar hidup dengan bijak. Kita harus selalu  siap menantikan kedatangan mempelai setiap saat dengan penuh cinta dan suka cita. Dengan bijak menyediakan segala perlengkapan (minyak) agar pelita tetap menyala.
Kebodohan lima gadis tidak boleh terulang lagi. Tuhan tidak mentolerir kebodohan kita. Apalagi dengan maksud mempermainkan Allah dengan kebodohan kita manusia. Jikalau kita masih tetap dalam”kebodohan” kita, maka Dia akan berkata kepada kita dengan sangat keras: Dia tidak mengenal kita. Untuk itulah dengan kasih dan Cinta-Nya kita telah diberi kebijaksanaan dan kesempatan untuk senantiasa berjaga-jaga agar kita dapat masuk bersama mempelai merayakan pesta perjamuan dalam kerajaan surga. Hendaklah pelitamu tetap bernyala! (B.Apul Tumanggor)

Tidak ada komentar: