Berjaga
atau berjaga-jaga hampir pasti pernah
kita alami dan lakukan. Paling tidak pernah kita dengar atau lihat prakteknya
dalam berbagai bentuk kegiatan,profesi atau peristiwa. Seorang ibu atau ayah
yang baik dengan setia berjaga menemani anak atau anggota keluarganya yang
sedang terbaring sakit di rumah sakit atau di rumah. Para dokter dan perawat
rela berjaga melayani pasiennya. Security siap berjaga-jaga menjaga, mengawasi
dan mengamankan wilayahnya termasuk kesigapan
membukakan pintu untuk tuan dan tamu-tamu yang datang. Singkatnya dalam
berjaga apapun bentuknya membutuhkan satu persiapan dan kesungguhan hati agar
pekerjaan itu bermakna bagi diri kita.
Aneka tujuan,
rasa dan pengalaman baik suka maupun
duka dapat kita petik dari “pekerjaan” berjaga itu. Dalam perumpamaan tentang lima gadis yang bijaksana dan lima gadis
yang bodoh (Mat 25:1-13) dengan jelas mengungkapkan perasaan itu. Mereka semua
sangat antusias untuk berjaga menanti Sang Mempelai. Semangat suka cita dan
kegembiraan memenuhi hati mereka dikala mendengar akan datangnya “Tamu Agung “
yang telah lama dinanti kehadirannya. Maka segala persiapan lahir dan bathin
tentu telah disiapkan secara lebih khusus.
Apa yang terjadi?
Di tengah suasana
kegembiraan itu, ternyata ada juga sekelompok orang yang diwakili wanita-wanita
bodoh tampil dengan seadanya. Tidak mempersiapakan diri dengan matang secara
lahir dan batin. Ditengah penantian kedatangan “mempelai laki-laki” kelelahan
dan kejenuhan mulai melanda mereka. Persediaan minyak dalam botol untuk
mempertahankan pelita agar tidak redup dan mati nyatanya tidak ada. Upaya
meminjam kepada sesama (=gadis-gadis yang bijak) pun sia-sia. Alasannya adalah
tidak bakal mencukupi untuk mereka mengingat saat penantian semakin tidak jelas.
Jam berapa Sang mempelai akan datang/tiba semakin tidak menentu sementara malam
semakin larut. Maka lebih baik mereka(=gadis bodoh) membeli ditempat lain.
Risikonya adalah jika mempelai datang saat mereka masih keluar membeli minyak
pasti mereka tidak dapat bertemu mempelai lagi.
Dan
memang terjadi. Pada saat gadis-gadis bodoh itu masih berada di luar membeli
minyak, datanglah mempelai itu. Mereka yang setia berjaga (telah siap) akhirnya
ikut masuk bersama mempelai dan rombongan ke dalam perjamuan makan. Pintu lalu
dikunci! Sementara gadis-gadis bodoh akhirnya ketinggalan diluar. Tidak dapat
masuk karena pintu telah dikunci. Si empunya pesta tidak peduli lagi akan
panggilan dan teriakan orang dari luar. Inilah satu risiko yang harus
ditanggung karena kesempatan tidak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan jawaban
yang diterima sangat menyedihkan: Tidak mengenal mereka.
Faktor
kesiapan dalam berjaga pun juga bisa menjadi ukuran kebijakan atau kebodohan
kita. Kriteria kelayakan untuk siap masuk bersama mempelai atau tidak.
Menyiapkan minyak dalam botol tampaknya sederhana namun sangat menentukan agar
pelita kita tetap bernyala. Sekali lagi faktor “berjaga-jaga”. Berajaga-jaga
menantikan mempelai itu soal yang sangat serius. Kendati yang menjadi penentu
dan kepastian ada di tangan Sang Mempelai yang akan datang. Waktu ada
ditangan-Nya. Konsekwensinya sangat
jelas kita diingatkan agar belajar hidup dengan bijak. Kita harus
selalu siap menantikan kedatangan
mempelai setiap saat dengan penuh cinta dan suka cita. Dengan bijak menyediakan
segala perlengkapan (minyak) agar pelita tetap menyala.
Kebodohan
lima gadis tidak boleh terulang lagi. Tuhan tidak mentolerir kebodohan kita.
Apalagi dengan maksud mempermainkan Allah dengan kebodohan kita manusia.
Jikalau kita masih tetap dalam”kebodohan” kita, maka Dia akan berkata kepada
kita dengan sangat keras: Dia tidak mengenal kita. Untuk itulah dengan kasih
dan Cinta-Nya kita telah diberi kebijaksanaan dan kesempatan untuk senantiasa
berjaga-jaga agar kita dapat masuk bersama mempelai merayakan pesta perjamuan
dalam kerajaan surga. Hendaklah pelitamu tetap bernyala! (B.Apul Tumanggor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar