widget

Selasa, 22 Februari 2011

BOCAH



Oleh: Valery Kopong
                Terik mentari menyengat buas sang bocah tak berbaju itu. Ia  tak menggubris. Angin selatan yang berhembus kencang tak menyurutkan nyalinya untuk mencari rejeki di bawah langit yang cerah itu. Ditentengnya bakul kosong mengitari lorong-lorong kota. Mulutnya komat-kamit sembari menatap langit biru, persis penyair besar yang tengah menangkap inspirasi malam. Tak  peduli siapa-siapa, bocah itu berjalan. Tanpa baju, tanpa alas kaki, itu hal lumrah. Di siang bolong dengan deru mesin-mesin kota, sang bocah berjalan menyusuri gedung dewan yang megah itu.
                “Itu gedung apa ya?” Tanya si bocah pada salah seorang anggota dewan yang kebetulan  masuk melalui pintu utama gedung megah itu.
                “Apa urusanmu  dengan gedung ini?” timpal anggota dewan itu dengan penuh sinis.
                Terima kasih atas sinismu pak!! Jangan melihat aku tak berbaju sehingga tak punya hak untuk menanyakan tentang gedung ini. Gedung ini adalah cermin keberadaan rakyat, tapi kenapa terkesan jauh dari jangkauan masyarakat? Memang gedung DPR yang mewah  itu sedang dirancang untuk menjadi lebih baik dan indah tentunya.  “Keindahan itu adalah matahari yang tahu diri, menarik cahayanya dari ladang dan sawah-sawah, yang di waktu malam ingin menikmati cahaya bulan. Dan keindahan itu adalah bunga tanjung, yang tiada berbudi tapi mekar  dalam keharumannya karena persekutuannya dengan alam semesta. Keindahan itu adalah penyerahan diri. Kini, terbanglah bersama keindahan itu.”
                “Jangan berkata-kata indah dihadapanku!” kata sang dewan. Saya mau ke ruanganku yang dingin dan memberikan kenyamanan padaku. Di sini, di luar ini terlalu panas bagiku. Matahari dan sinarnya yang terlalu menyengat merupakan cermin ketidakberdayaan manusia dihadapannya.
                “Jadi bapak tidak suka dengan terik matahari? Bapak harus sadar dan belajar dari matahari. Ia (matahari) tidak pernah memberikan sinarnya hanya pada orang-orang tertentu. Matahari itu adil dalam memberikan sinarnya.”  Berkaca pada matahari, kita perlu merenung tentang hidup kita yang penuh dengan pertarungan yang tidak sehat. Yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap mendekap dengan kemiskinannya. Bapak bisa bayangkan, bagaimana kelangsungan hidup ini bila tidak ada matahari lagi? Matahari menjadi sumber kehidupan utama bagi seluruh penghuni jagat bumi ini.
                “Sang bocah berfilosofi di tengah siang bolong.” Dari mana ia belajar nilai-nilai filosofis? tanya sang dewan dalam hatinya. Apakah dia pernah studi banding ke luar negeri? Tidak!! Dia masih bocah, bukan anggota dewan terhormat.
                “Dari mana anda belajar filsafat?” tanya sang dewan.
            “Saya belajar sendiri.” Kultur atau budaya Indonesia terlalu banyak memberi  inspirasi buat saya untuk berfilosofi. Saya juga tidak pernah studi banding di Yunani seperti yang dilakukan oleh para anggota dewan saat ini.  Menonton bola saja, saya bisa mendesain bangunan filosofi terutama filosofi bola kaki dan ideologi gol.
              “Setiap detik adalah final bagi kehidupan,” demikian Penyair Frans Kafka. Ketika setiap orang melihat lini kehidupan adalah final maka masing-masing orang mempersiapkan diri secara matang dalam proses pertarungan hidup. Frans Kafka memposisikan diri sebagai libero untuk mempertahankan gawang dari bobolan lawan yang mungkin juga menembus tirai gawang yang terlilit rapih melalui tendangan pisang (babana kick).  Tetapi untuk meraih titik kulminasi (final) perlu adanya kegesitan. “Mereka yang lambat tak ikut bermain, demikian kata Plato, si filsuf dari Yunani, negara pendekar demokrasi pertama. Plato, dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, ia mendapat kehormatan sebagai kapten kesebelasan. Ia terpilih karena menyukai tempo yang tinggi, sekaligus idealis dan desainer dalam menata pola permainan yang artistik. Dalam pola penataan permainan, barangkali ia tersulut oleh pendamping Kafka di sektor kiri yakni Arno Schmidt. Arno Schmidt dikenal sebagai pendekar apokaliptik yang terus menuntut manusia untuk tergesa-gesa. Bagi Schmidt, setiap hari Sabtu adalah musim kompetisi di mana setiap manusia harus bertanding dan bertanding. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”
            “Pemikiran sang bocah benar-benar menggugah kesadaran untuk terus belajar tentang filsafat dan bagaimana bertarung dalam politik praktis. Apa yang dikatakan sang bocah seakan mengurung niat saya untuk pergi ke Yunani mengadakan studi banding. Untuk apa studi hanya untuk membanding tanpa memberikan nilai lebih pada rakyat yang telah memilih saya?” sang dewan membatin.
            “Siapa namamu?” tanya sang dewan.
            “Nama saya Kusno,” jawab si bocah itu.
            “Siapa nama bapakmu?”
            “Supardi,” jawab si bocah.
            “Apa pekerjaannya?”
            “Ia adalah seorang tukang becak yang ditabrak pesawat terbang.”
                “Lho, kok bisa ditabrak pesawat terbang?” tanya sang dewan dengan rasa ingin tahu
                “Bapak jangan mengerti secara harafiah apa yang saya katakan ini. Bahwa gambaran tentang tukang becak yang ditabrak pesawat terbang tentu merupakan sesuatu yang jauh dari mungkin. Tetapi maksud dari kalimat di atas menunjukkan dua kelompok yang sangat berbeda. Tukang becak merupakan simbol orang-orang kecil seperti saya ini dan pesawat terbang mewakili orang-orang kaya yang dengan segala kekuasaan dan uang membunuh republik  ini dan boleh terbang ke mana-mana. Kita sekarang benar-benar berada dalam republik para pecundan. Bapakku yang adalah tukang becak kini berbaring di tempat tidur karena terkena peluruh  nyasar, alias salah tembak  dari polisi. Kedua kakinya  luka berat dan terpaksa menggunakan kursi roda.
                  “Siapa nama ibumu?” tanya sang dewan.
                  “Maryam,” jawabnya.
                “Apa pekerjaannya?
                “Menjadi joki para napi.”
                “Mengapa ia menjadi joki para napi?”
                Ya, bapak tentu tahu bahwa di Indonesia ini, kekuasaan tertinggi,  berada pada tangan orang-orang berduit. Dengan duit seseorang bisa mempermainkan persoalan hukum dan peradilan.  Dan ibu saya yang melakoni  hidup ini sebagai joki merupakan sebuah keterpaksaan. Tiada duit semua cara dilakukan untuk meraihnya. Andaikan keluarga kami berkecukupan, tak mungkin kami melakukan semua, terutama ibu saya. Kalau seorang ibu adalah potret dari kehidupan itu sendiri tetapi dalam diri ibu saya, memperlihatkan potret ketidakadilan untuk negeri ini. Atas nama uang, ia berani masuk penjara untuk menggantikan nara pidana yang kaya.
                Dalam sunyi dibalik jeruji besi, sang ibu memberontak karena apa yang dilakukan telah bertolak belakang dengan nuraninya yang bening. “Mengapa samudera kalah dengan titik air? Mengapa panas kalah dengan dingin? Mengapa kegagahan kalah dengan ketakberdayaan? Mengapa ada kalah dengan ketiadaan? Tak ada jawaban untuk negeri ini.” Sang dewan tersipu malu sembari mengusap dasinya yang makin kumal.***