widget

Selasa, 22 Februari 2011

BERANI BERSAKSI


Di tengah hembusan isu tentang toleransi dalam keberagaman yang terus bergulir di antara “puing-puing waktu,” rasanya untuk menggapai toleransi yang hakiki di bumi pertiwi  ini, ibarat menggapai “kaki langit,” sesuatu yang jauh dari harapan. Tetapi apakah mereka yang terus berkecimpung dalam perjuangan ini merasa lelah ketika terjadi benturan yang sengaja dilakukan untuk menghambat jalannya kompromi yang mengawali sebuah toleransi? Toleransi seperti apakah yang terus dicari di “langit harapan” Indonesia?
                Senja turun perlahan dan memagut bumi, pratanda siang segera menutup diri dan membuka lembaran baru bernama malam. Di sore dengan awan sedikit menggelantung di langit Sepatan, terbangun obrolan santai bersama Bapak Yustinus Kemiyo dan Ibu Rosalia Ruwiyani. Pasangan suami-isteri ini menyambut saya dalam suasana keakraban di rumah Permata Sepatan, Blok C6, No.9. Sembari meneguk segelas teh dan menikmati martabak dengan aromanya yang memikat, kami memulai pembicaraan yang santai seputar perjuangan mereka dalam hidup membaur dengan kelompok lain dan mendidik anak-anak negeri yang tidak tersentuh dengan pelajaran agama Katolik.
Sepatan, Pinggiran Stasi Gregorius
                Perumahan permata  Sepatan merupakan perumahan yang cukup luas. Di antara sekian warga yang menghuni perumahan itu, terdapat 8 KK yang beridentitas Katolik. Perjuangan orang-orang  minoritas untuk membaur dengan kelompok mayoritas membutuhkan waktu yang lama. Di tengah gesekan sosial yang terjadi terkadang isu agama menjadi rawan untuk dibicarakan bahkan agama itu sendiri menjadi pemicu dalam membentangkan jarak sosial yang jauh. Memang, sulit sekali menjelaskan keberadaan agama Katolik pada mereka yang sama sekali tidak tahu tentang Katolik. Bagi orang-orang non-Katolik, mereka melihat bahwa aktivitas yang dilakukan, baik oleh sesama Protestan maupun Katolik, meraka melihat bahwa itu dilakukan oleh orang Kristen. Oleh pemahaman yang menyatukan di atas maka tugas berat bagi setiap orang Katolik terutama yang menghuni Permata Sepatan, memberikan penjelasan tentang perbedaan-perbedaan mendasar antara Katolik dan Protestan sehingga pada akhirnya, orang-orang di luar kedua kelompok agama ini menjadi tahu dan memahami perbedaan dan  keberadaannya.
                Sekitar 3 bulan yang lalu, terjadi keributan dengan mengusung agama sebagai pemicu perpecahan. Kekisruhan ini muncul berawal dari pendirian sebuah gereja Protestan di tengah perumahan tersebut. Dengan pendirian gereja ini mendatangkan kemarahan yang meluber dari warga terutama yang datang dari luar kelompok agama Kristen dan Katolik. Dengan peristiwa ini maka dicari, siapa yang menjadi dalang dibalik pendirian gereja tersebut.
                Nama Kemiyo, pria kelahiran Wates-Kulonprogo-Yogyakarta ini menjadi incaran dan buah tutur antara kelompok yang menentang pendirian gereja ini. Apakah dengan peristiwa ini menyurutkan semangat orang Katolik dalam menjalankan doa dan kegiatan lain?   Dari penuturannya bersama VOLUNTAS, terlihat ada ketegaran iman untuk tetap bersaksi di tengah mayoritas. Tiga bulan yang lalu, Bapak Kemiyo diundang untuk menghadiri rapat dalam lingkup RW yang khusus membahas masalah keberadaan gereja. Dalam rapat yang dihadiri oleh ketua FPI cabang Sepatan, para uztad dan kaum ulama yang berpengaruh, Bapak Kemiyo menjelaskan perbedaan antara Katolik dan Kristen Protestan. Dalam rapat itu juga, ia mengharapkan agar pihak muslim juga melibatkan pihak Katolik dalam kaitan dengan pembangun masjid ataupun mushola.
                Dengan memberi penjelasan ini diharapkan dapat membuka wawasan dan pemahaman dari orang-orang muslim. Bapak Kemiyo tidak gentar menghadapi semua cobaan tersebut. Menurutnya, kunci utama adalah melakukan pendekatan terhadap pengurus masjid karena baginya, para pengurus masjid dapat memberikan pemahanan yang menyeluruh tentang keberadaan orang-orang minoritas. Tidak hanya itu yang dilakukan oleh Bapak Kemiyo, namun ia juga mencarikan kerja bagi tetangga-tetangganya yang muslim yang masih menganggur.     
Membuka Persink
                Para siswa dan siswa beragama Katolik yang mengenyam pendidikan di sekolah negeri terpaksa tidak mendapat pelajaran agama Katolik karena di sekolah negeri sendiri jarang bahkan tidak ada sama sekali kita menjumpai guru-guru agama katolik yang secara rutin memberikan pelajaran dan pembinaan iman pada para siswa dan siswi. Atas keprihatinan inilah maka Gereja membuka mata melihat kenyataan ini dan memberikan pendampingan melalui guru-guru agama. Untuk Gereja Stasi Gregorius sendiri, setiap minggu diadakan pelajaran agama Katolik bagi para siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di sekolah negeri yang berpusat di sekolah Maria Mediatrix. Tetapi apakah ada yang tahu bahwa di tempat lain dalam wilayah stasi ini masih ada yang rela memberi pelajaran agama bahkan mengambil tempat di rumah pribadi?
                Sekitar tiga tahun lalu, Ibu Rosa dan Bapak Kemiyo merintis jalan baru bagi para siswa-siswi yang bersekolah di SD dan SMP negeri yang tidak mendapat pelajaran agama. Mengumpulkan siswa-siswi dan memberikan pelajaran agama di rumah adalah sesuatu yang tidak mudah karena mendapat tantangan dari warga yang bersikap curiga terhadap seluruh aktivitas mereka. Pada saat-saat awal, pengajaran agama Katolik yang berlangsung di rumah mendapat sorotan tajam dan pihak mayoritas mencurigai kegiatan yang dilakukan itu merupakan cikal bakal dalam mendirikan gereja. Untuk mencegah kecurigaan itu maka  pihak MUI (Majelis Ulama Indonesia) cabang Tangerang menyarankan agar dibuatkan papan dengan bertuliskan Bimbingan Belajar (Bimbel). Tawaran ini tidak dilaksanakan, mengingat bahwa proses pengajaran agama berarti hanya untuk orang Katolik sedangkan bimbingan belajar lebih terbuka untuk umum dan para siswa-siswi harus membayar apabila belajar di tempat itu.  
                Dari data yang ada, terdapat 15 orang yang setiap minggu bertandang ke rumah ibu Maria yang terletak pinggiran itu. Suami-isteri bergantian memberi pelajaran pada para siswa-siswi tersebut. Ibu Maria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru pada TK Kanaan ini tidak kelihatan lelah mendampingi anak-anak. Barangkali kelelahan bisa diimbangi dengan bantuan Bapak Kemiyo, yang walaupun sebagai pekerja di pabrik “Tabung Mas Murni” yang terletak di kawasan Benoa, masih menyisahkan waktu untuk memberi pelajaran pada para siswa-siswi. Selain sebagai guru persink, Bapak Kemiyo juga mengajar agama Katolik di SMP 16  Kota Tangerang. Pasangan suami-isteri ini juga berperan sebagai Penyuluh Agama Honorer (PAH) di bawah koordinasi langsung oleh Bimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten.   
                Hari Sabtu dan Minggu yang merupakan hari untuk keluarga, tetapi bagi pasangan suami-isteri ini, hari Sabtu dan Minggu adalah hari dalam memberikan pendampingan terutama mengajar agama Katolik pada anak-anak yang diasuhnya. Mereka tidak hanya menanamkan pelajaran agama tetapi juga mengajarkan doa-doa Gereja secara praktis. Menurut  ibu Rosa, ada anak yang disuruh membuat tanda salib saja engga tahu bahkan kadang menandai diri dengan tanda salib tetapi terbalik. Inilah yang menjadi keprihatinan mereka sekaligus menggerakan kesadaran untuk terus membagi dengan para siswa-siswi. Satu keprihatinan dan pertanyaan yang terus menghantui pasangan suami-isteri ini adalah, bagaimana ke depannya, apakah keadaan tetap seperti ini ataukah ada penambahan ruangan seiring dengan pertumbuhan jumlah murid?
                Walaupun mendapat serangan bertubi-tubi tetapi Ibu Rosa dan Bapak Kemiyo tetap tegar berpendirian. Hanya satu kekuatan yang bisa mengalahkan semuanya, yaitu doa. Doa merupakan bagian integral dalam mendukung seluruh aktivitas manusia. Tanpa doa, belum tentu semua yang dilakukan itu berjalan dengan baik.***(Valery Kopong)

Tidak ada komentar: