“KELUARGA, HARTA YANG PALING INDAH”
Harta yang paling indah adalah keluarga
Cinta yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga….
Itulah penggalan syair lagu yang selalu mewarnai penayangan sinetron “Keluarga Cemara.” Sinetron ini menjadi inspirasi bagi setiap keluarga yang menontonnya. Tetapi siapakah yang menjadi tokoh idola bagi pemirsa ketika menonton sinetron tersebut? Abba Kurdi tentunya. Ia menjadi ikon yang menguatkan perjalanan hidup Keluarga Cemara. Abba yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang kaya secara ekonomis, tetapi pada akhirnya jatuh terpuruk karena seluruh usahanya bangkrut dan hal ini membuat dia harus tegar dalam menghadapi segala tantangan. Ia (Abba) akhirnya mengayuh becak, satu-satunya jalan yang ditempuh untuk mempertahankan kehidupan ekonomi keluarga. Dengan cara seperti ini, Abba memberikan pelajaran berharga kepada keluarganya bahwa yang menjadi penentu keutuhan keluarga tidak selamanya bergantung pada kehidupan ekonomi yang mapan tetapi pengorbanan dalam membangun komunikasi.
“Komunikasi Bukan Syarat Tetapi Kebutuhan.” Itulah tema seminar yang diselenggarakan oleh seksi kerasulan keluarga Stasi Santo Gregorius-Tangerang. Seksi kerasulan keluarga menyadari bahwa perkawinan katolik yang monogam dan tidak terceraikan sifatnya tetapi belum tentu tidak ada persoalan dalam keluarga. Dalam sambutannya, Bapak Daryanto sebagai ketua panitia penyelenggara seminar mengatakan bahwa di dalam keluarga katolik terdapat keluarga yang harmonis dan ada juga yang tidak harmonis. Menyadari banyak persoalan yang terjadi dalam keluarga katolik ini maka pihak panitia melibatkan pasangan suami-isteri untuk terlibat dalam seminar tersebut. Sebelum acara seminar dimulai, mudika Stasi St.Gregorius mempersembahkan sebuah drama mini yang menggambarkan sebuah keluarga yang berantakan. Ada perselingkuhan terjadi dan hal ini menimbulkan keretakan rumah tangga serta efek samping yang diperoleh adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap anak. Anak ditelantarkan sehingga pada akhirnya terlibat dalam minuman yang memabukan.
Drama ini menjadi sebuah “abstraksi” yang menggambarkan macetnya komunikasi antara suami-isteri dan orang tua terhadap anak. Cuplikan realitas yang digambarkan dalam drama ini juga menjadi spirit bagi setiap orang terutama orang tua yang hadir dalam seminar agar perlu membangun kembali relasi yang harmonis terutama melalui komunikasi. Komunikasi menjadi inti dasar dalam keluarga dan tempat setiap penghuni kelurga untuk saling menerima diri satu terhadap yang lain. Tanpa komunikasi maka jelas seluruh persoalan tidak teratasi dengan baik. Hanya melalui komunikasi terdapat jalan menuju ke arah yang lebih baik.
Persoalan komunikasi juga disoroti oleh Bapak Lastyo sebagai ketua Dewan Stasi St.Gregorius. Dalam sambutan mengawali seminar itu, ia mengatakan bahwa umat kita yang ada di Stasi Gregorius terhimpun dari pelbagai wilayah dengan latar belakang budaya, etnis dan mata pencaharian yang berbeda. Perbedaan itu pula bisa nampak dalam keluarga jika terjadi perkawinan dengan pasangan yang sama-sama beda budaya. Perbedaan inilah yang dirasakan sebagai awal munculnya sebuah persoalan. Untuk mengatasi persoalan ini maka perlu adanya komunikasi yang efektif.
Agustinus Adi Kurdi, atau dalam sinetron Keluarga Cemara dipanggil Abba, mengisahkan tentang cuplikan keluarga cemara yang diperankannya. Kali ini ia hadir sebagai pembicara dalam seminar sehari pada Minggu, 5 September 2010, bertempat di Aula Sekolah Tarsisius Vireta-Tangerang. Seminar yang dihadiri oleh sekitar 200 orang ini begitu antusias mengikuti ceramah yang diberikan oleh Abba Kurdi.
“Tuhan menciptakan manusia, bukan ‘dicetak’ karena itu memiliki keunikan masing-masing.” Keunikan inilah yang perlu disadari dalam keluarga. Suami harus memahami keunikan isteri, demikian sebaliknya, isteri harus memahami suami. Dengan memahami secara mendalam akan keunikan dan karakter yang berbeda maka keutuhan keluarga bisa terjaga secara baik. Di awal seminar itu Abba menantang para peserta dengan pertanyaan sederhana. Untuk apa Anda menikah? Menikah atau perkawinan itu sendiri merupakan suatu panggilan. Karena itu perlu dibangun sikap dalam menerima panggilan itu sendiri. Perkawinan adalah sebuah panggilan yang luhur maka setiap keluarga mestinya menyadari, siapa yang memanggil mereka dan mempertemukan dalam satu keluarga sebagai suami-isteri? Mempertahankan keluarga berarti pula menghayati panggilan itu sendiri dan lebih dari itu suami-isteri menghormati Dia yang memanggil dan mempertemukan insan yang berbeda karakter dan budaya.
Karena dipertemukan dalam keberbedaan itu maka dalam perjalanan menahkodai bahtera rumah tangga, selalu ada terpaan masalah. Setiap masalah yang dihadapi tentu berbeda dan bagaimana menyikapi permasalahan itu? Dalam seminar itu Agustinus Adi Kurdi, yang dibaptis ketika berusia 32 tahun mengingatkan para peserta bahwa jangan pernah menghindar, apalagi lari dari masalah. Apabila Anda lari dari masalah, bukan berarti Anda menyelesaikan masalah tetapi justeru menciptakan masalah baru. Yang paling penting adalah bagaimana menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi itu. Ketika berada dalam kesulitan, jangan biarkan Anda berdua sendirian yang menyelesaikan masalah tetapi libatkanlah Tuhan dalam seluruh persoalan hidup yang dialami. Kehadiran Tuhan sangat berarti dalam hidup perkawinan karena Dia sendiri yang mempertemukan kita dan yakinlah bahwa Ia pasti memberikan jalan pencerahan dalam proses penyelesaian masalah.
Dalam kehidupan keluarga, tentunya orang merindukan kebahagiaan. Menurut pesinetron Keluarga Cemara ini, jangan membangun kebahagiaan keluarga dengan cara mencari kesenangan. Karena itu ada bahaya yang muncul bila orang meletakkan kesenangan sebagai dasar utama dalam mengecapi kebahagiaan. Untuk membangun kebahagiaan itu, komunikasi menjadi landasan utama dalam memahami pasangan dan persoalan hidup. Komunikasi mengandaikan adanya keterbukaan dalam nuansa kesejajaran sebagai suami-isteri, sebagai dua pribadi yang disatukan untuk melayani dan bukan memerintah. Dan ketika menghadapi persoalan, hadapilah secara bersama untuk menyelesaikannya.
Suami isteri perlu memupuk kesetiaan dalam melayani. “Mata isteri yang dulu berbinar, kini redup karena setia mendampingi suami, demikian juga sebaliknya. ” Kesetiaan itu sendiri menjadi sebuah pilihan yang berharga ketika dua insan menyatu lebur dalam ikatan perkawinan sakramental. Kehadiran isteri dalam keluarga, jangan dilihat sebagai beban. Demikian sebaliknya, kehadiran suami jangan dilihat sebagai musuh yang perlu disingkirkan. Karena itu dalam keseharian hidup berumah tangga, orang perlu memperlihatkan ekspresi yang positif, ekspresi yang mengundang daya tarik untuk pasangannya mengulum senyum. Ekspresi itu sendiri adalah alat untuk berkomunikasi. Ekspresi yang diperlihatkan itu menandakan dua kemungkinan, bisa positif dan bisa juga negatif. Orang lain bisa jadi korban ekspresi negatif tersebut. Tetapi lewat ekspresi, entah itu positip atau negatif, sebenarnya secara implisit membahasakan bahwa setiap orang ingin dimengerti oleh orang lain. Atau dengan kata lain, ekspresi itu sendiri merupakan cara dalam berkomunikasi.
Setiap keluarga perlu membangun imajinasi. Hanya orang yang berimajinasilah yang sanggup menemukan jalan keluar pemecahan masalah. Keluarga yang tidak memiliki potensi untuk berimajinasi, keluarga tersebut sepertinya berada dalam persoalan yang terus-menerus. Seperti mutiara terbentuk melalui proses yang panjang, demikian juga keluarga. Kalau keluarga mau menjadi mutiara yang baik maka harus melalui suatu proses, melalui jalan penderitaan. Di akhir pembicaraannya, Adi Kurdi mengajak para peserta untuk menyanyikan lagu: “Ajarilah kami bahasa cinta-Mu.” Sambil bernyanyi, ia mengajak pasangan untuk saling menatap satu dengan yang lain, sembari berbisik ke telinga pasangannya, apa yang paling dibutuhkannya.
Seluruh rangkaian seminar ditutup dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Romo Swasono, SJ. Dalam khotbahnya, Romo Swasono menggambarkan bagaimana keluarga Katolik yang harmonis membangun sebuah komunikasi. Tetapi dalam kaitan dengan komunikasi dan diperhadapkan dengan teks Kitab Suci yang diperdengarkan pada Hari Minggu itu, ia mengatakan bahwa ada pertentangan dengan teks Injil yang mengisahkan banyak orang yang datang pada Yesus dan Ia berkata, barangsiapa yang tidak membenci ibu-bapak, saudara laki-laki atau perempuan, ia tidak layak mengikuti Aku (menjadi murid-Ku). Apakah semua orang yang datang berduyun-duyun mengikuti Yesus, setia bersama-Nya sampai puncak Golgota? Di tengah duyunan orang, kita ada di mana? Di depan, tengah atau belakang?
Apakah keluarga-keluarga Katolik memihak Yesus dalam membangun keluarga? Inilah pertanyaan mendasar yang dilontarkan oleh Romo Swasono di selah-selah khotbahnya. Pertanyaan ini terlontar sebagai bentuk keprihatinan karena cukup banyak keluarga Katolik, yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus tetapi belum secara penuh menempatkan Yesus sebagai pusat iman dan sumber utama perekat cinta suami-isteri. Keharmonisan hidup berumah tangga, secara tidak langsung memperlihatkan juga jalinan relasi yang intim yang dibangun oleh keluarga itu sendiri. Hidup berkeluarga tanpa melibatkan Yesus sebagai sumber utama yang menyulut bara cinta, maka cinta suami-isteri pasti akan perlahan-lahan mengalami tingkat keredupan. Keluarga manakah menginginkan keredupan cinta dalam hidup berumah tangga? Di akhir khotbah yang cukup singkat, Romo sepertinya menantang para pasangan suami-isteri yang menghadiri seminar tersebut. “Saya sendiri saja bisa bertahan selama 15 tahun dalam hidup imamat, apalagi Anda hidup berdua.” ***(Valery Kopong)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar