widget

Senin, 29 November 2010

SAJIAN UTAMA


SASTRA DAN SEKSUALITAS, KEINDAHAN YANG TERCEMAR

Oleh: Valery Kopong*

MEMBACA beberapa karya sastra berupa novel, para sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatu  situasi riil yang sering dialami oleh manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni seksualitas yang sering menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain merupakan bentuk revolusi dari sastrawan yang menggunakan pintu kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi masyarakat tentang penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai seksualitas sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini muncul suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus memilih jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni kolong langit ini? Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam pelbagai pers yang umumnya menyertakan data dan dilengkapi foto-foto yang akurat yang berbicara tentang seksualitas?
            Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu kondisi dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang diwakili oleh Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil sebagai penghadir figur lama, yakni peronggeng ulung yang telah meninggal harus menuruti aturan sebelum dikukuhkan sebagai peronggeng baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan telah dijalani dengan baik dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara pembukaan keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa, terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam sayembara bergengsi itu.
            Dalam konteks kesastraan, seorang novelis terasah kesadaran untuk membentangkan seluruh refleksi yang bernada sastrawi untuk berpihak pada kenyataan yang ada. Perempuan dalam sosok seorang Srintil, menampilkan sikap penuh lugu dan menuruti acara ritual yang diselenggarakan. Dapat dipahami yaitu bahwa tokoh Srintil yang ditampilkan adalah seorang gadis bocah yang apabila dilihat dari kebutuhan biologis, ia belum meminati untuk dipenuhi kebutuhan itu. Tetapi mengapa, dengan latar kesusastraan yang suram dan seram ini, Srintil dicebloskan ke dalam “malam sayembara keperawanan” yang menuruti orang yang dikorbankan tidak tahu sama sekali tentang seksualitas.
            Seksualitas dalam catatan seorang sastrawan tidak dilihat sebagai aib publik, melainkan menunjukkan sebuah keterbukaan masyarakat untuk secara jernih melihat aib ini sebagai sebuah kebutuhan ritual yang diterima sebagai tuntutan yang mesti dijalani. Di sini, Ahmad Tohari dengan kekuatan daya susastra seakan menggiring kesadaran para peminat sastra untuk memahami secara detail tentang makna acara ritual pengukuhan seorang peronggeng baru yang dilihat sebagai suatu keharusan yang mendakwa.
            Perempuan dalam kaca mata Ahmad Tohari adalah sosok yang gampang tergiring untuk menerima situasi yang menimpah dirinya. Perempuan yang sama merupakan pribadi yang dapat membangun suatu ikatan yang kokoh antara roh Ki Sekamenggala sebagai peronggeng ulung yang telah meninggal sekian tahun yang lalu dengan peronggeng baru. Malam sayembara dapat saya pahami sebagai penghadir kembali roh peronggeng masa lalu yang mungkin terjelma dalam diri pemuda yang memenuhi kriteria untuk membukakan keperawanan  seorang Srintil.
            Pemecahan keperawanan seorang Srintil sebagai bentuk peleburan dan tanda kehadiran abadi. Perempuan rela membuka rahim untuk ditumbuhi benih baru, suatu regenerasi yang dilakukan untuk memperpanjang kisah peronggengan. Rahim seorang Srintil tidak lain adalah “rahim khatulistiwa”, rahim semesta yang senantiasa memproduk manusia baru untuk tampil menafasi sebuah kisah yang menjadi milik berharga sebuah komunitas. Ronggeng adalah tarian yang dilakonkan oleh orang tertentu dan karena eksklusivitas ini memberi identitas pada komunitas Dukuh Paruk.
            Penghuni kolong langit Dukuh Paruk merasa bahwa ada pengembalian reputasi dengan hadirnya Srintil yang memperpanjang kisah ketenaran kampung mereka. Mereka merelakan seorang bocah untuk dinodai demi kebersamaan. Apakah peminat masyarakat lain juga merelakan seorang perempuan untuk dinodai atas nama publik? Tapi mungkin, dalam kerelasediaan itu, secara manusiawi Srintil pun pasti membangun perlawanan terhadap tuntutan situasi itu. Terhadap pemberontakan, secara diam-diam, aku teringat akan perempuan-perempuan dalam novel “Saman” milik Ayu Utami, yang mengadakan pemberontakan dan protes dengan menggaruk kemaluan dengan garpu. Seksualitas pada satu sisi merupakan suatu keindahan tetapi dalam wajah Ronggeng Dukuh Paruk, seksualitas itu tidak lebih sebagai sebuah keindahan yang tercemar.***

SAJIAN UTAMA



“KELUARGA, HARTA YANG PALING INDAH”

Harta yang paling indah adalah keluarga
Cinta yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna  adalah keluarga….
Itulah penggalan syair lagu yang selalu mewarnai penayangan sinetron “Keluarga Cemara.” Sinetron ini menjadi inspirasi bagi setiap keluarga yang menontonnya. Tetapi siapakah yang menjadi tokoh idola bagi pemirsa ketika menonton sinetron tersebut? Abba Kurdi tentunya. Ia menjadi ikon yang menguatkan perjalanan hidup Keluarga Cemara. Abba yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang kaya secara ekonomis, tetapi pada akhirnya jatuh terpuruk karena seluruh usahanya bangkrut dan hal ini membuat dia harus tegar dalam menghadapi segala tantangan. Ia (Abba) akhirnya mengayuh becak, satu-satunya jalan yang ditempuh untuk mempertahankan kehidupan ekonomi keluarga.  Dengan cara seperti ini, Abba memberikan pelajaran berharga kepada keluarganya bahwa yang menjadi penentu keutuhan keluarga tidak selamanya bergantung pada kehidupan ekonomi yang mapan tetapi pengorbanan dalam membangun komunikasi.
                “Komunikasi Bukan Syarat Tetapi Kebutuhan.” Itulah tema seminar yang diselenggarakan oleh seksi kerasulan keluarga Stasi Santo Gregorius-Tangerang. Seksi kerasulan keluarga menyadari bahwa perkawinan katolik yang monogam dan tidak terceraikan sifatnya tetapi belum tentu tidak ada persoalan dalam keluarga. Dalam sambutannya, Bapak Daryanto sebagai ketua panitia penyelenggara seminar mengatakan bahwa di dalam keluarga katolik terdapat keluarga yang harmonis dan ada juga yang tidak harmonis. Menyadari banyak persoalan yang terjadi dalam keluarga katolik ini maka pihak panitia melibatkan pasangan suami-isteri untuk terlibat  dalam seminar tersebut. Sebelum acara seminar dimulai, mudika Stasi St.Gregorius mempersembahkan sebuah drama mini yang menggambarkan sebuah keluarga yang berantakan. Ada perselingkuhan terjadi dan hal ini menimbulkan keretakan rumah tangga serta efek samping yang diperoleh adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap anak. Anak ditelantarkan sehingga pada akhirnya terlibat dalam minuman yang memabukan.
                Drama ini menjadi sebuah “abstraksi” yang menggambarkan macetnya komunikasi antara suami-isteri dan orang tua terhadap anak. Cuplikan realitas yang digambarkan dalam drama ini juga menjadi spirit bagi setiap orang terutama orang tua yang hadir dalam seminar agar perlu membangun kembali relasi yang harmonis terutama melalui komunikasi. Komunikasi menjadi inti dasar dalam keluarga dan tempat setiap penghuni kelurga untuk saling menerima diri satu terhadap yang lain. Tanpa komunikasi  maka jelas seluruh persoalan tidak teratasi dengan baik. Hanya melalui komunikasi terdapat jalan menuju ke arah yang lebih baik.
                Persoalan komunikasi juga disoroti oleh Bapak Lastyo sebagai ketua Dewan Stasi St.Gregorius. Dalam sambutan mengawali seminar itu, ia mengatakan bahwa umat kita yang ada di Stasi Gregorius terhimpun dari pelbagai wilayah dengan latar belakang budaya, etnis dan mata pencaharian yang berbeda. Perbedaan itu pula bisa nampak dalam keluarga jika terjadi perkawinan dengan pasangan yang sama-sama beda budaya. Perbedaan inilah yang dirasakan sebagai awal munculnya sebuah persoalan. Untuk mengatasi persoalan ini maka perlu adanya komunikasi yang efektif. 
                Agustinus Adi Kurdi, atau dalam sinetron Keluarga Cemara dipanggil Abba, mengisahkan tentang cuplikan keluarga cemara yang diperankannya. Kali ini ia hadir sebagai pembicara dalam seminar sehari pada Minggu, 5 September 2010, bertempat di Aula Sekolah Tarsisius Vireta-Tangerang. Seminar yang dihadiri oleh  sekitar 200 orang ini begitu antusias mengikuti ceramah yang diberikan oleh Abba Kurdi.
                “Tuhan menciptakan manusia, bukan ‘dicetak’ karena itu memiliki keunikan masing-masing.”  Keunikan inilah yang perlu disadari dalam keluarga. Suami harus memahami keunikan isteri, demikian sebaliknya, isteri harus memahami suami. Dengan memahami secara mendalam akan keunikan dan karakter yang berbeda maka keutuhan keluarga bisa terjaga secara baik. Di awal seminar itu Abba menantang para peserta dengan pertanyaan sederhana. Untuk apa Anda menikah? Menikah atau perkawinan itu sendiri merupakan suatu panggilan. Karena itu perlu dibangun sikap dalam menerima panggilan itu sendiri. Perkawinan adalah sebuah panggilan yang luhur maka setiap keluarga mestinya menyadari, siapa yang memanggil mereka dan mempertemukan dalam satu keluarga sebagai suami-isteri? Mempertahankan keluarga berarti pula menghayati panggilan itu sendiri dan lebih dari itu suami-isteri menghormati Dia yang memanggil dan mempertemukan insan yang berbeda karakter dan budaya.
                Karena dipertemukan dalam keberbedaan itu maka dalam perjalanan menahkodai bahtera rumah tangga, selalu ada terpaan masalah. Setiap masalah yang dihadapi tentu berbeda dan bagaimana menyikapi permasalahan itu? Dalam seminar itu Agustinus Adi Kurdi, yang dibaptis ketika berusia 32 tahun mengingatkan para peserta bahwa jangan pernah menghindar, apalagi lari dari masalah. Apabila Anda lari dari masalah, bukan berarti Anda menyelesaikan masalah tetapi justeru menciptakan masalah baru. Yang paling penting adalah bagaimana menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi itu. Ketika berada dalam kesulitan, jangan biarkan Anda berdua sendirian yang menyelesaikan masalah tetapi libatkanlah Tuhan dalam seluruh persoalan hidup yang dialami. Kehadiran Tuhan sangat berarti dalam hidup perkawinan karena Dia sendiri yang mempertemukan kita dan yakinlah bahwa Ia pasti memberikan jalan pencerahan dalam proses penyelesaian masalah.
                Dalam kehidupan keluarga, tentunya orang merindukan kebahagiaan. Menurut pesinetron Keluarga Cemara ini, jangan membangun kebahagiaan keluarga dengan cara mencari kesenangan. Karena itu ada bahaya yang muncul bila orang meletakkan kesenangan sebagai dasar utama dalam mengecapi kebahagiaan. Untuk membangun kebahagiaan itu, komunikasi menjadi landasan utama dalam memahami pasangan dan persoalan hidup. Komunikasi mengandaikan adanya keterbukaan dalam nuansa kesejajaran sebagai suami-isteri, sebagai dua pribadi yang disatukan untuk melayani dan bukan memerintah. Dan ketika menghadapi persoalan, hadapilah secara bersama untuk menyelesaikannya.
                Suami isteri perlu memupuk kesetiaan dalam melayani. “Mata isteri yang dulu berbinar, kini redup karena setia mendampingi suami, demikian juga sebaliknya. ” Kesetiaan itu sendiri menjadi sebuah pilihan yang berharga ketika dua insan menyatu lebur dalam ikatan perkawinan sakramental. Kehadiran isteri dalam keluarga, jangan dilihat sebagai beban. Demikian sebaliknya, kehadiran suami jangan dilihat sebagai musuh yang perlu disingkirkan. Karena itu dalam keseharian hidup berumah tangga, orang perlu memperlihatkan ekspresi yang positif, ekspresi yang mengundang daya tarik untuk pasangannya mengulum senyum. Ekspresi itu sendiri adalah alat untuk berkomunikasi. Ekspresi yang diperlihatkan itu menandakan dua kemungkinan, bisa positif dan bisa juga negatif. Orang lain bisa jadi korban ekspresi negatif tersebut. Tetapi lewat ekspresi, entah itu positip atau negatif,  sebenarnya secara implisit membahasakan bahwa setiap orang ingin dimengerti oleh orang lain. Atau dengan kata lain, ekspresi itu sendiri merupakan cara dalam berkomunikasi.
                Setiap keluarga perlu membangun imajinasi. Hanya orang yang berimajinasilah yang sanggup menemukan jalan keluar  pemecahan masalah. Keluarga yang tidak memiliki potensi untuk berimajinasi, keluarga tersebut sepertinya berada dalam persoalan yang terus-menerus. Seperti mutiara terbentuk melalui proses yang panjang, demikian juga keluarga. Kalau keluarga mau menjadi mutiara yang baik maka harus melalui suatu proses, melalui jalan penderitaan. Di akhir pembicaraannya, Adi Kurdi mengajak para peserta untuk menyanyikan lagu: “Ajarilah kami bahasa cinta-Mu.” Sambil bernyanyi, ia mengajak pasangan untuk saling menatap satu dengan yang lain, sembari berbisik ke telinga pasangannya, apa yang paling dibutuhkannya.
                Seluruh rangkaian seminar ditutup dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Romo Swasono, SJ. Dalam khotbahnya, Romo Swasono menggambarkan bagaimana keluarga Katolik yang harmonis membangun sebuah komunikasi. Tetapi dalam kaitan dengan komunikasi dan diperhadapkan dengan teks Kitab Suci yang diperdengarkan pada Hari Minggu itu, ia mengatakan bahwa ada pertentangan dengan teks Injil yang mengisahkan  banyak orang yang datang pada Yesus dan Ia berkata, barangsiapa yang tidak membenci ibu-bapak, saudara laki-laki atau perempuan, ia tidak layak mengikuti Aku (menjadi murid-Ku). Apakah semua orang yang datang berduyun-duyun mengikuti Yesus, setia bersama-Nya sampai puncak Golgota? Di tengah duyunan orang, kita ada di mana? Di depan, tengah atau belakang?
                Apakah keluarga-keluarga Katolik memihak Yesus dalam membangun keluarga? Inilah pertanyaan mendasar yang dilontarkan oleh Romo Swasono di selah-selah khotbahnya. Pertanyaan ini terlontar sebagai bentuk keprihatinan karena cukup banyak keluarga Katolik, yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus tetapi belum secara penuh menempatkan Yesus sebagai pusat iman dan sumber utama perekat cinta suami-isteri. Keharmonisan hidup berumah tangga, secara tidak langsung memperlihatkan juga  jalinan relasi yang intim yang dibangun oleh keluarga itu sendiri. Hidup berkeluarga tanpa melibatkan Yesus sebagai sumber utama yang menyulut bara cinta, maka cinta suami-isteri pasti akan perlahan-lahan mengalami tingkat keredupan. Keluarga manakah menginginkan keredupan cinta dalam  hidup berumah tangga? Di akhir khotbah yang cukup singkat, Romo sepertinya menantang para pasangan suami-isteri yang menghadiri seminar tersebut. “Saya sendiri saja bisa bertahan selama 15 tahun dalam hidup imamat, apalagi Anda hidup berdua.” ***(Valery Kopong)

OPINI

MEMBANGUN GEREJA KATOLIK ADALAH MEMBANGUN PERSAUDARAAN SEJATI

Sudah menjadi hukum tidak tertulis dalam masyarakat dunia bahwa kelompok minoritas akan mengalami banyak hambatan dalam melaksanakan kegiatan yang berbeda dengan kelompok mayoritas, terlebih kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan, mulai dari kegiatan ibadat sampai dengan membangun sarana prasarana peribadatan. Hal ini bisa menjadi potensi konflik jika tidak diupayakan penyatuan di antara keduanya dan pemahaman bahwa semua pihak adalah setara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam tata kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak, termasuk kelompok minoritas itu sendiri.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kelompok minoritas di manapun, bisa menjadi persoalan umat Katolik di Indonesia, tidak terkecuali umat Katolik Stasi Santo Gregorius yang saat ini sedang dalam proses untuk menjadi paroki yang mandiri dan memiliki gedung gereja yang legal sesuai peraturan perundangan yang berlaku sebagai pusat kegiatan peribadatan maupun pusat koordinasi pelayanan rohani umat Katolik di wilayah pelayanan yang ada.
Dalam hal mengantisipasi / meminimalisasi konflik agama serta memberi pemahaman bahwa semua orang adalah setara dan memiliki hak yang sama (dalam beragama) sejak berdiri Negara dan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Dasar 1945 telah mengaturnya. Seperti yang tertuang dalam amandemen UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28E ayat 1: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, ” dan Pasal 281 ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, “ serta pada Bab XI, pasal 29 ayat 2 tentang agama: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dan juga peraturan-peraturan pemerintah yang lain yang mendukung dan tidak bertentangan, misalnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Meskipun Pemerintah Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang menjamin keberadaan umat beragama dan kebebasan memilih dan memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing, umat Katolik (khususnya di Stasi Santo Gregorius) sebagai kelompok minoritas tetap harus pro-aktif, berperan aktif dalam menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dan kondusif demi terwujudnya kerukunan umat beragama di tempat tinggal masing-masing dengan membangun persaudaraan sejati yang berasal dari hukum cintah kasih yang kedua yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22 : 39).
Dalam membangun persaudaraan sejati haruslah dilakukan secara tulus, sebagaimana disampaikan oleh Santo Petrus dalam suratnya yang pertama bab 1 ayat 22: “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.” Dan harus dilaksanakan dengan langkah-langkah konkrit dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya berperan aktif dalam kehidupan masyarakat, berlaku sopan, tidak hidup secara eksklusif, tidak menjadi batu sandungan baik terhadap sesame umat Katolik maupun umat non Katolik, berempati kepada orang lain dan memberi bantuan kepada yang memerlukan tanpa memandang perbedaan agama dan tanpa pamrih, seperti pesan Yesus melalui perumpamaan “Kebaikan orang Samaria” (Lukas 10:25-37).
Hal tersebut di atas harus menjadi semangat seluruh umat Katolik Stasi Santo Gregorius agar secara bersama-sama berperan aktif dan bersinergi untuk mengantisipasi supaya persoalan tersebut tidak dialami / tidak terjadi dengan cara membangun persaudaraan sejati dengan seluruh komponen masyarakat di mana setiap pribadi, setiap keluarga umat Katolik Stasi Santo Gregorius tinggal.
Bagaimana dengan cita-cita umat Katolik Stasi Santo Gregorius untuk menjadi paroki mandiri dan memiliki gedung gereja yang legal sesuai peraturan perundangan yang berlaku dapat tercapai? Team, yang terdiri dari beberapa umat Stasi Santo Gregorius yang sejak Juni 2009 mendapat tugas dari Pastor Paroki Hati Maria Tidak Bernoda untuk mengurus agar gedung Gereja Katolik Santo Gregorius yang berada di Desa Gelam Jaya, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang-Banten, memiliki ijin secara legal formal sesuai perundangan yang berlaku yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006, menjadikan “Semangat Membangun Persaudaraan Sejati” sebagai semangat dasar dalam melaksanakan tugas tersebut.
Dalam melaksanakan tugas, team selalu mengedepankan dialog dan pendekatan personal dibanding pendekatan hukum. Dari sisi kebutuhan akan tempat ibadat, team memberikan keyakinan kepada seluruh lapisan masyarakat di sekitar, mulai dari masyarakat “grass root,” tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, pejabat pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten (bahkan propinsi) bahwa kebutuhan akan gedung gereja secara legal sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9/8 Tahun 2006, nyata-nyata dibutuhkan oleh umat Stasi Santo Gregorius dengan menunjukkan data-data jumlah umat. Dari sisi kerukunan umat beragama, team memberikan pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat di sekitar, mulai dari masyarakat “grass root,” tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, pejabat pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten bahwa umat Katolik yang memiliki KASIH bukanlah kelompok yang berbahaya dan mengancam keberadaan umat beragama lain.
Namun semua itu tidak akan terwujud apabila hanya team yang merupakan kelompok sangat kecil yang memiliki semangat untuk “Membangun Persaudaraan Sejati,” apabila umat Katolik Stasi Santo Gregorius tidak memilikinya dan tidak melaksanakannya dengan tindakan nyata sehari-hari maka keinginan menjadi paroki mandiri dan memiliki gedung gereja yang legal sesuai peraturan perundangan yang berlaku akan “jauh panggang dari api.” Dan tentunya dukungan doa yang tidak terputus dari seluruh umat menjadikan team sanggup melaksanakan tugas dengan baik dan benar. Semoga Tuhan memberkati. Pro Ecclesia et Patria! (Wahyudi)

HUMOR

ANAK KALIMAT



SEORANG  pastor, sebut saja Miguel, mempunyai minat yang besar terhadap dunia jurnalistik. Suatu keunikan dapat terlihat lewat  tulisannya yakni kalimat yang digunakan dalam tulisan, selalu menggunakan anak kalimat yang sekian banyak. Seorang pembaca merasa heran dan mempertanyakan, mengapa Pastor Miguel selalu menggunakan anak kalimat dalam jumlah yang banyak? Sekian lama si pembaca itu bertanya, dan pada akhirnya ia menemukan jawaban, yaitu bahwa mungkin pastor itu tidak mempunyai anak sehingga selalu menciptakan anak kalimat yang banyak dalam tulisan-tulisannya.*** (Valery)

HUMOR

ANAK KALIMAT



SEORANG  pastor, sebut saja Miguel, mempunyai minat yang besar terhadap dunia jurnalistik. Suatu keunikan dapat terlihat lewat  tulisannya yakni kalimat yang digunakan dalam tulisan, selalu menggunakan anak kalimat yang sekian banyak. Seorang pembaca merasa heran dan mempertanyakan, mengapa Pastor Miguel selalu menggunakan anak kalimat dalam jumlah yang banyak? Sekian lama si pembaca itu bertanya, dan pada akhirnya ia menemukan jawaban, yaitu bahwa mungkin pastor itu tidak mempunyai anak sehingga selalu menciptakan anak kalimat yang banyak dalam tulisan-tulisannya.*** (Valery)

HUMOR

INSPIRASI MUSIK



AGAK sulit apabila dalam kehidupan sebuah biara menghimpun para filsuf (ahli filsafat) dan musikus karena masing-masing orang berjalan dengan ide dan gagasannya. Sang musikus biasanya memainkan alat musik pada waktu manapun tanpa mempedulikan ketenangan para filsuf yang sedang berjalan dengan ide-idenya.
            Dani, bukan nama sebenarnya yang terkenal sebagai komponis (pencipta lagu) untuk lagu-lagu liturgi, kadang bertingkah aneh. Pada jam 12 malam, ia mengambil saxophone dan meniupnya sehingga mengganggu tidur para filsuf. Seorang dosen filsafat yang berasal dari Polandia yang hidup sebiara dengan dia merasa ketenangannya terganggu. Ia (dosen filsafat) bangun dan menegur, mengapa pater meniup saxophone pada saat semua anggota biara tertidur lelap? Bukankah ini mengganggu ketenangan banyak orang?
            Mendengar teguran dari si filsuf, dengan santai pastor Dani (musikus) menjawab,”tidak tahukah kamu bahwa inspirasi musikku mulai muncul saat ini?” Sang dosen terlihat malu dan diam-diam berjalan menuju kamar pribadi untuk meneruskan refleksi pribadinya.*** (Valery)

Selasa, 21 September 2010

DOA ROSARIO


KETIKA mengadakan kunjungan ke sebuah stasi yang berada di pedalaman, saya menyempatkan diri untuk bergabung dengan lingkungan basis untuk mengadakan doa bersama. Saya yang memimpin doa dan khusus untuk doa rosario, saya mempercayakan seorang guru agama untuk memimpinnya. Dia memilih peristiwa gembira untuk direnungkan dalam doa rosario itu. Pada peristiwa gembira yang kedua, ia mengajak umat untuk merenungkan peristiwa “Elisabeth mengunjungi Maria.”
            Mendengar peristiwa ini, saya tergidik diam sambil berkata dalam hati, mungkin guru agama keliru karena formulasi yang benar adalah Maria mengunjungi Elisabeth, saudaranya. Seusai doa, aku mendekati guru agama itu dan berkata padanya. Maaf pak, mungkin bapak salah pada saat menyebut peristiwa rosario yang kedua tadi. Yang benar adalah Maria mengunjungi Elisabeth dan bukan sebaliknya. Dengan serta merta, guru agama itu menjawab, “sekali-kali ada kunjungan balasan.” Tidak hanya Maria yang mengunjungi Elisabeth tapi juga Elisabeth mengunjungi Maria.*** (Valery)


INSPIRASI MUSIK



AGAK sulit apabila dalam kehidupan sebuah biara menghimpun para filsuf (ahli filsafat) dan musikus karena masing-masing orang berjalan dengan ide dan gagasannya. Sang musikus biasanya memainkan alat musik pada waktu manapun tanpa mempedulikan ketenangan para filsuf yang sedang berjalan dengan ide-idenya.
            Dani, bukan nama sebenarnya yang terkenal sebagai komponis (pencipta lagu) untuk lagu-lagu liturgi, kadang bertingkah aneh. Pada jam 12 malam, ia mengambil saxophone dan meniupnya sehingga mengganggu tidur para filsuf. Seorang dosen filsafat yang berasal dari Polandia yang hidup sebiara dengan dia merasa ketenangannya terganggu. Ia (dosen filsafat) bangun dan menegur, mengapa pater meniup saxophone pada saat semua anggota biara tertidur lelap? Bukankah ini mengganggu ketenangan banyak orang?
            Mendengar teguran dari si filsuf, dengan santai pastor Dani (musikus) menjawab,”tidak tahukah kamu bahwa inspirasi musikku mulai muncul saat ini?” Sang dosen terlihat malu dan diam-diam berjalan menuju kamar pribadi untuk meneruskan refleksi pribadinya.*** (Valery)