widget

Kamis, 24 Februari 2011

SANG GURU MEMANGGIL



Selamat pagi Yesus.
Mari masuk. Maaf, rumah-Ku sederhana. Ada apa? Kok pagi-pagi begini kunjungi Aku. Dari mana ni?
Ya. Kami dari Majalah Voluntas. Mau meminta waktu untuk berbicara dengan Yesus. Kira-kira ada waktu engga?
                Saya selalu ada waktu untuk siapa saja yang datang kepada-Ku. Kalau boleh tahu,  wawancara dalam kaitan dengan apa ya?
Dalam kaitan dengan seputar pemanggilan murid-murid pertama.  Hasil wawancara akan dipublikasikan lewat Voluntas. Kalau saya baca dalam Kitab Suci, ada 12 rasul yang dipanggil dan dipilih oleh Yesus. Kira-kira apa tujuan Yesus membentuk kedua belas Rasul?
                Tujuan pemanggilan dan pemilihan rasul-rasul sebenarnya sederhana saja. Mereka bisa menemani Saya dalam melakukan karya-karya pewartaan dan mewartakan kerajaan Allah di tengah masyarakat. Mereka inilah yang menemani dan membantu dan bahkan pada akhirnya melanjutkan karya-karya-Ku di dunia ini setelah saya menjalani sengsara, wafat, bangkit dan naik ke sorga. Banyak kisah yang ditulis dalam teks Kitab Suci sebenarnya merupakan buah penuturan mereka kepada kelompok atau komunitas penulis.
Dalam memanggil kedua belas Rasul, Yesus memilih kebanyakan dari para penjala ikan. Mungkin ada maksud lain dibalik pemanggilan orang-orang sederhana?
                Perlu diketahui bahwa orang-orang sederhana  yang menjadi target pemilihan Saya. Mengapa? Kalau Anda baca dalam Kitab Suci, kerajaan Allah hanya dinyatakan kepada mereka yang sederhana, miskin secara hartawi tetapi kaya akan pengalaman perjumpaan dengan Allah sendiri. Kesadaran orang-orang kecil lebih tajam dan peka terhadap sentuhan kasih Allah sendiri. Mereka lebih terbuka untuk menerima tawaran Allah. Tawaran-tawaran Allah dan sentuhan Allah sendiri dapat dirasakan lewat pengalaman hidup harian. Ketika mereka mengalami kesuksesan, mereka memanjatkan syukur kepada Tuhan dan demikian juga pada ketika mengalami kegagalan, semuanya mereka syukuri sebagai sesuatu yang terberi dari Allah.
Saat ini keberlangsungan Gereja di bawah bimbingan para uskup dan imam-imam. Bagaimana Yesus melihat cara kerja para uskup dan imam-imam saat ini dalam menggembalakan domba-domba-Nya?  
                Saya sendiri salut terhadap perkembangan Gereja saat ini. Walaupun seringkali mengalami tantangan dan hambatan tetapi mereka tetap maju. Satu hal yang menjadi perhatian yakni ada ketergantungan yang sangat kuat terhadap Allah sendiri yang senantiasa membimbing umat-Nya dengan Roh-Nya sendiri.  Roh Kudus seperti yang Saya janjikan dulu dan sudah turun pada peristiwa Pentekosta menjadi momentum iman yang sangat penting dan menjadikan Gereja ini semakin “bernyawa.” Keberadaan Gereja, walaupun dihambat tetapi semakin kokoh berdiri. Saya ibaratkan keberadaan Gereja sebagai sebuah pohon asam yang tumbuh di tengah himpitan batu-batu. Karena semakin dihimpit oleh batu maka akarnya tidak mungkin melebar karena sudah diblokir oleh tumpukan bebatuan. Di sini, pohon asam tersebut, mau tidak mau akarnya harus menukik ke bawah, dan dengan itu ia semakin kuat. Ketika datangnya hujan dan badai, ia (pohon asam) tetap kokoh berdiri, tanpa diombang-ambingkan oleh apa dan siapapun. Gereja juga sama. Gereja selalu berakar dalam iman akan Yesus dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus menjadi fungsi penyerta untuk setiap perjalanan Gereja sampai akhir zaman. 
Pada zaman ini, semakin banyak umat yang bertambah dari waktu ke waktu, tetapi panggilan untuk menjadi imam ataupun biarawan/biarawati semakin sulit. Dan juga mereka yang sudah terpanggil, banyak yang putus di tengah jalan. Bagaimana pendapat Yesus tentang permasalahan ini?
                Untuk saat ini, menjaring orang untuk masuk ke biara memang agak sulit. Sulit karena kehidupan anak-anak sekarang sudah dipengaruhi oleh pelbagai hal yang serba modern sehingga ada keengganan  untuk melepaskan hal-hal duniawi yang mengikatnya. Memang, para pemimpin baik di biara maupun  di seminari-seminari  harus berlapang dada kalau memang para frater ataupun suster yang masih terikat dengan kaul sementara, harus meninggalkan biara. Tapi itu semua harus dilihat secara positif. Mereka yang mantan, entah mantan frater atau suster, kalau pun keluar tetap mereka memberikan kontribusi secara penuh pada Gereja. Gereja harus terbuka menerima mereka sebagai agen-agen pastoral yang sudah dibentuk secara matang. Anda bisa lihat di Gereja Santo Gregorius, ada kelompok mantan frater, ada yang eks OFM, Pr, SCJ dan SVD serta beberapa ordo lain, telah membentuk komunitasnya sendiri. Kelompok “Serviamus” merupakan salah satu contoh yang baik bahwa mereka yang pernah mau menjadi imam tapi gagal, sudah mengukuhkan komitmennya untuk melayani umat, tidak hanya dari paduan suara tetapi juga sebagai organis bahkan sebagai penulis di majalah Voluntas.  
                Kemudian menyangkut beberapa imam maupun suster yang meninggalkan imamat dan kaul-kaulnya, itu juga dilihat sebagai bagian dari panggilan itu sendiri. Barangkali dalam proses awal mereka sendiri tidak menggali panggilan hidupnya secara radikal sehingga pada akhirnya menentukan pilihan yang lain. Memang,  pilihan untuk membelot dari panggilan adalah pilihan pribadi dan Allah senantiasa membimbing setiap manusia, dalam keputusan apa pun yang dilakukan. Saya juga salut kepada imam, biarawan / biarawati yang bertahan hidupnya sampai 25 tahun, 40 tahun, 60 tahun dan pada akhirnya meninggal dalam imamatnya. Ok, salam untuk seluruh umat di Stasi Santo Gregorius.***(Valery Kopong)

PAULUS DAN PENGALAMAN PASSING OVER




Pengantar Redaksi: Paulus yang sebelum pertobatannya dikenal sebagai Saulus, lahir di Tarsus, Kilikia, sebuah pusat perdagangan terkenal di bagian Tenggara Asia Kecil (sekarang wilayah Turki). Tanggal lahir Paulus tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ia dilahirkan sekitar  tahun 10 sesudah  Masehi. Paulus adalah seorang Israel dari suku Benyamin dan disunat pada hari kedelapan (Filipi 3:5). Dalam teks yang sama ini Paulus mengatakan bahwa ia adalah seorang Farisi yang berpendirian teguh. Dikatakan bahwa Paulus menyandang dua nama yakni nama Romawi (Paulus) dan nama Yahudi (Saulus) (Kis 7:58; 8:1).  Melalui proses tawar-menawar  waktu yang sangat lama, tim Redaksi Voluntas berhasil mewawancarainya di selah-selah keheningan. Sayangnya, fotografer tidak bisa membidik wajahnya karena memang ia tak kelihatan lagi di muka bumi ini.
=====================================================================================
Redaksi Voluntas: Selamat pagi Pak Paulus!!
Paulus: Selamat pagi juga. Ada apa ni? Pagi-pagi sudah bertemu dengan saya? Dari mana kalian?
Redaksi Voluntas: Kami dari Majalah Voluntas, mau bertemu Kang Paul untuk berbicara seputar masa lampau Bapak. Boleh kan?
Paulus: Boleh aja. Tapi saya malu kalau pengalaman masa lalu diungkit kembali. Namun demi pembelajaran umat, saya bisa menceritakan seluruh apa yang saya alami. Saya berusaha untuk mengingat kembali apa yang saya alami. Maklum, saya semakin tua, tubuh semakin rapuh dan ingatan semakin melemah.  
Redaksi Voluntas: Bolehkah Kang Paul menceritakan sedikit mengenai kehidupan awal sebelum mengalami pertobatan?
Paulus: Saya benci terhadap orang-orang yang menamakan diri pengikut Kristus. Awal kebencian ini merupakan momentum hitam bagi saya untuk menutup diri dan berusaha melenyapkan siapa saja yang percaya bahkan mengikuti ajaran Yesus. Dua aspek yang sangat terkenal dalam kehidupan saya sebelum percaya pada Kristus adalah ketaatan  terhadap Hukum Taurat sebagai seorang Farisi dan penganiayaan mereka yang percaya akan Kristus.  Bisa Anda baca dalam Filipi 3:5-6;  Galatia 1:13, 23;      1 Kor 15:9. Saya menggambarkan ketaatan saya pada Hukum Musa sebagai tidak bercacat (Filipi 3:6). Ketaatan saya yang berlebihan ini, barangkali membuka peluang bagi saya untuk membenci hukum-hukum dan ajaran-ajaran lain.
                                                Dalam perjalanan ke Damsyik untuk meneruskan penganiayaan terhadap mereka yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus dan ajaran, saya mengalami peristiwa bersejarah yang dapat mengubah hidupku sendiri. Saya terjatuh dari kuda karena tersorot oleh sinar yang amat tajam yang mengarah pada mataku. Saya terjatuh bersama kuda kesayangan. Saya tidak sadar selama beberapa hari. Pengalaman ini bukan semata-mata pewahyuan diri Yesus; pengalaman itu juga merupakan suatu panggilan untuk memberitakan Yesus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi.
Redaksi Voluntas: Bagaimana Kang Paul bisa melakukan pewartaan terutama memberitakan tentang Yesus dan ajaran-Nya? Bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya?
Paulus: Pengalaman tragis yang mengubah hidupku seperti yang saya paparkan di atas, terjadi sekitar tahun 35 Masehi. Dan tentang reaksi umat sekitar tentu berbeda. Siapa yang tidak kaget kalau orang yang sebelumnya tidak percaya akan Yesus bahkan membunuh orang-orang yang percaya pada-Nya tetapi kemudian berbalik untuk bersahabat dengan mereka yang percaya pada-Nya dan saya sendiri menjadi pewarta tentang Yesus. Reaksi mereka tentu senang terutama komunitas-komunitas yang percaya akan Yesus. 
Kurang lebih tiga tahun kemudian, karya misioner saya pusatkan di sekitar kota Damsyik dan daerah bagian selatan dan timur kota itu. Saya sendiri memulai karya-karya misioner di daerah-daerah yang penduduknya bukan Yahudi. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan pengalaman saya akan Yesus yang bangkit. Seperti kehidupan Yesus, karya-Nya, sengsara dan bangkit demi seluruh umat manusia tanpa membedakan kelompok-kelompok tertentu maka saya sendiri juga dituntut dan dituntun untuk keluar dari diri untuk melawan ego sektoral. Pengalaman-pengalaman saya ketika mewartakan karya di tengah kelompok bukan Yahudi dapat memberi spirit baru dan saya melihat karakter kelompok-kelompok yang berbeda dengan lingkungan Kristen-Yahudi dari Gereja Yerusalem.
Redaksi Voluntas:   Kami mendapat informasi bahwa setelah bertobat dan menjadi pewarta sabda, Kang sendiri ke Yerusalem. Di sana Kang bertemu dengan Petrus dan Yakobus. Setelah pulang dari Yerusalem, tempat yang mana lagi yang menjadi sasaran pewartaan Kang?
Paulus:  Setelah kembali dari kunjungan pertama ke Yerusalem, saya berkarya di daerah-daerah Siria dan Kilikia. Saya berkarya di sana selama 10 tahun (tahun 38-48 Masehi). Kegiatan ini saya anggap sebagai misi pertama. Seluruh kegiatan saya pusatkan di Antiokia dan  Siria. Di luar Yerusalem, Antiokia menjadi pusat pewartaan terbesar kekristenan perdana pada masa itu. Jemaat di Antiokia terdiri dari kalangan bangsa bukan Yahudi yang bertobat.
Redaksi Voluntas: Mengapa Gereja mengakui Paulus sebagai rasul terbesar dan bukannya Petrus?
Paulus: Ya, saya sendiri tidak terlalu tahu. Itu kan julukan yang diberikan Gereja, bukan saya sendiri yang menjuluki diri sendiri sebagai rasul terbesar. Barangkali Gereja melihat pengalaman pertobatan saya dan keberanian saya untuk keluar dari lingkungan Yahudi untuk mewartakan Yesus. Kalau Petrus sendiri mewartakan Yesus dan ajaran-Nya dalam lingkungan orang-orang  yang bersunat, sedangkan saya sendiri mewartakan Yesus dan ajaran-Nya di lingkungan orang-orang yang tidak bersunat.Di sinilah saya mengalami pengalaman passing over  (pengalaman beralih).***(Valery Kopong) 
                 

TAWA SANG GURU



Oleh: Valery Kopong*
Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa?  Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
                Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu,  mengisahkan  kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
                Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya  Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.
                Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
                Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.  Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.
                Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil,  sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.
                Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
                Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.   Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru  memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***

K E M A H


                                                                     
                                                           Oleh: Valery Kopong*

TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu. Di tengah mendung menggelayut langit sekolah Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah. Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
        Sembari menjaga anak-anak yang berkemah, beberapa guru sedang asyik menonton film yang mengisahkan tentang dunia akhirat yang bakal terjadi di tahun 2012. Dengan tatapan yang sedikit mengecil, mereka mulai berdiskusi, apakah kiamat benar-benar terjadi di tahun 2012? Film yang ditonton adalah sebuah potret gelisah manusia saat berhadapan dengan akhirat, sebuah lembar kehidupan akhir yang ditutup secara tragis. Tapi benarkah itu?
        Menonton film dan mengamati anak-anak yang sedang berkemah membuka ruang pemikiran untuk membersitkan 2 sisi kehidupan yang bersinggungan makna. Film akhir zaman, garapan Amerika memprediksikan keberakhiran dunia dan perkemahan merupakan simbol kesementaraan waktu. Kemah, simbol kesementaraan hidup menjadi titik dasar pemahaman bahwa hidup hanyalah sebuah singgahan sementara. “Suatu saat Allah akan datang dan membongkar kemah kehidupan kita.” Jika kemah itu dibongkar maka tamatlah riwayat hidup ini dan manusia hanya menunggu saat yang paling genting untuk membiarkan diri dan kemah dibongkar oleh Allah sendiri. Allah, di satu sisi menjadi Sang Arsitek dan pada sisi lain, dalam pandangan dunia akhirat, Allah yang sama datang sebagai pembongkar kehidupan ini.
         Dunia dan penghuni di bawah kolong langit masih berbincang dalam nuansa kecemasan akan datangnya kiamat. Seolah-olah apa yang difilmkan memaksa sebuah kenyataan untuk segera merealisasi kiamat. Film hanyalah sebuah miniatur yang memburai kesadaran manusia untuk memahami masa parusia. Komersialisasi film perlahan terwujud ketika manusia semakin panik sambil mencari sekeping kaset sebagai dokumentasi hidupnya.
         Allah dalam kesunyian sedang merekam kepanikan manusia yang seakan menggantungkan nasibnya pada sang sutradara film. Ia (sang sutradara) telah sanggup menembus pasaran dunia dan mengganggu ketenangan manusia lewat sekeping VCD. Dalam penyerangan kesadaran manusia melalui film yang aktif itu, film mengenai kiamat lalu bermetamorfosa menjadi milik orang banyak. Dengan kata lain, film adalah sebuah keberpihakan. Dan ketika seluruh penikmat film bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, tontonan yang asyik pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari kita. Allah telah membimbing kita ke tempat yang lapang (Ehr Fuhrte mich inz weite) untuk ditantang dan membuat sebuah refleksi, tentang hidup, perjuangan dan kiamat. Malam semakin larut, kutemukan diriku sedang menatap kemah yang sementara dan tontonan film yang manipulatif. ***

'D E V O T I O N'



By : Saverinus Kaka, S.Pd
The Headmaster of SMA Tarsisius Vireta
====================================================================

'Devotion' is derived from the Latin word "Devotio" which means worship, sacrifice, surrender, swear, piety, love. Devotion is always addressed to the heart attitude in which one directs himself to someone or something that is cherished and loved. In Christian tradition, the devotion is understood as a form of appreciation and expression of Christian faith outside the official liturgy.
 
              In the liturgy, the Church expresses and executes himself officially. Liturgy as a celebration of the church led by an official leader, with the structure and the standard procedures of celebration, generally applicable, binding and legal.

           Devotion
is the practice of the spontaneous and more freely expression of people’s faith in God. Devotion can be performed individually or together (in groups). Although not an official liturgy, devotion is accepted and recognized legally by the Church. Official liturgy is often experienced as something that regular, dry, formal and stiff by the people. Conversely, devotion can be internalized by the people as something that meets the needs of affection, emotion and longing heart. Devotion is a popular religious practice which is easily accepted, understood and practiced.

The Appearance of People’s Devotion

  1. Liturgical History Aspects:
The practice of devotion in the Catholic Church began to increase in the Middle Ages. In the eighth century the Roman ritual Liturgy in Latin was applied across Europe. In the XVI century, the Council of Trent uniform Liturgy of the Catholic Church explicitly and stiff. Common people increasingly feel alienated from the official liturgy of the church. Alienation and non-participation of people in the liturgy have caused the people’s desire of faith disclosure forms that are easier, simpler and satisfying their affection needs. Based on these conditions the various kinds of devotional practices appeared.

  1. Anthropological Aspects:
Prayers in Roman Liturgy were recognized solid and rational, revealing more theological concept than religious experience of people. Therefore, people seek ways of expressing faith that can meet their needs. Devotion does not emphasize on the beauty of the theological prayers formulation, but rather emphasize the aspect of feeling and emotion that motivated by the longing heart of God.

  1. Religious Community Aspects:
Most of the devotion of Catholics is also influenced by the religious practices of local people. Religious experience is the fundamental experience of every human being who misses the true happiness which is believed as a gift from the supreme power. Forms of expression of this religious experience is different. People who do not know yet the Lord may reveal their religious attitudes through ritual sacrifice to the gods, while Christians express their religious attitudes through local devotion. The task of the church is come into this popular devotion and purify the practice of devotion to the spirit of the Gospel. The Church keeps to recognize and appreciate various forms of people’s devotion, as long as the devotion is internalized in the "Spirit and Truth" (John 4:23).

Devotion Contribution
Devotion contributions to the Church Liturgy:
1.      Devotion helps to realize the importance of affective-emotional dimension in the liturgy. The values drawn in devotion can help us to appreciate the liturgy better.
2.      Devotion reminds the need for simplicity of expression of faith in the liturgy.
3.      Devotion reminds that the liturgy is a prayer. We need to think of a liturgy which conducts an atmosphere of prayer.

Matters Should Be Controlled In Devotion:

1.      Devotion was never viewed as a substitute for the liturgy. In the church known levels. Of all the official liturgy of the church, the Eucharist celebration is the highest level of liturgy and most importantly. Then, it is followed by the other sacraments. However, the practice of devotion can be connected with the official liturgy. For example, the novena in the Eucharist celebration.
2.      Devotion must be kept away from the danger of magical practice. This occurs when people view the strength and power of sanctification comes from goods, spells, numbers, etc.
3.      Devotion must be kept in accordance with the church faith as stated in Holy Bible (or Scripture) and Tradition of the Church. The private devotional / groups beliefs do not always have to be the faith of the Universal Church. Therefore, dealing with many Apparitions (Penampakan), the church always takes caution.

The  Types Devotion:
  1. Adoration of the Blessed Sacrament.
  2. Cross Roads Celebration.
  3. Novena
  4. Pilgrimage
  5. Devotion to St. Mary
  6.  

Things That Need To BE Kept In Mind In Devotion:
1.      Jesus Christ, in His divinity and humanity, is the only mediator of God and man.
2.       Devotion to Mary and other saints, in the end is a devotion to Christ, because His mercy grace is already glorious in Mary and the Saints.
3.      Based on faith and obedience to the Word of God, Mary is an excellent model for the church and its members. Mary was a wonderful student.
4.      Apparitions, visions, and other extraordinary events which is associated directly or indirectly to Mary, may be trusted; or can not be trusted.
5.      It should not be "Content, Message, sign, help, or the like" in the events above viewed and placed parallel to the Gospel. Content or messages should be assessed in the light of church faith and should not conflict with Holy Bible (or Scripture).
Finally, in the light of faith and our love of Mother Mary, I hope that the main points of this simple thought can help the Christians at least, in faith appreciation. God never dies, never stop looking for Him. In that effort, let us learn from Mary, Mother of Jesus and our beloved Mother.***