widget

Minggu, 22 Mei 2011

ROMO PEMBAHARU


Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.

Biasanya di dalam sebuah perpisahan, selalu ada pesan dan kesan yang diutarakan. Yang jelas, tidak semua umat memberikan kesan dan pesan terhadap Romo Sri tetapi diminta dari beberapa orang pengurus lingkungan, wilayah dan ketua-ketua seksi memberikan pesan dan kesan. Dari beberapa orang yang memberikan kesan terhadap Romo Sri, ada titik kesamaan terutama menyangkut sifat Romo Sri yang dikenal “galak.” Sifat “galak” seperti yang dituturkan oleh beberapa orang itu dimaknai secara berbeda. Karena memang, sifat “galak” yang diperlihatkan Romo Sri selama berkarya di Paroki Hati Maria Tak Bernoda, dilihat oleh Pak Totok sebagai sesuatu hal yang baik. Menurutnya, “figur kenabian” bisa ditemukan dalam diri Romo Sri. Ia terkadang “galak” tetapi juga sanggup mengajak umat untuk bekerja sama. Dan sifat galak dan marah itu dapat menumbuhkan semangat baru.

Bapak Dolfi Mamahit, yang mewakili ketua-ketua lingkungan memberi kesan juga terhadap Romo Sri selama beberapa tahun berada di Paroki Sta. Maria dan melayani stasi Gregorius. Romo Sri adalah “Romo pembaharu. Biasanya memimpin misa selalu menarik dan hal ini membuat umat Gregorius merasa terbantu,” demikian Dolfi. Hal ini diperkuat juga oleh Bapak Pranoto, yang mewakili ketua-ketua wilayah. Menurutnya, “kehadiran Romo Sri sangat membantu umat terutama dalam membaca dan mendalami Kitab Suci. Romo selalu mewajibkan umat untuk selalu membawa dan membaca Kitab Suci pada setiap hari Minggu. Tidak hanya membawa Kitab Suci saja tetapi lebih dari itu diharapkan agar umat bisa membaca dan mendalami sabda Tuhan. Dengan mengakrabi Kitab Suci maka umat diarahkan untuk berpikir fokus dan terarah pada suatu tujuan. Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan tempat paling pas bagi umat untuk menimbah kekuatan darinya.

Dengan mewajibkan untuk membaca Kitab Suci, berarti ia mengarahkan umat untuk mengenal, siapa itu Yesus, Sang Sabda yang hidup. Hal senada juga diperkuat oleh Pak Totok yang diminta untuk mewakili ketua-ketua seksi dalam memberikan kesan kepada Romo Sri. “Allah terkadang dialami oleh umat sangat jauh, tetapi juga terkadang dirasa dekat.” Di samping itu, menurut Bapak Dalyo, yang dipercayakan untuk memberikan kesan mewakili anggota dewan stasi, mengatakan bahwa dengan kegalakan Romo Sri, kita dipacu untuk mendapatkan pengalaman baru. Kegigihan Romo Sri untuk mempertahankan tempat ibadah dan upaya menatanya menjadi sebuah tempat ibadah yang layak.

Pada kesempatan itu Romo Sri diminta untuk memberikan sambutan terakhir, sekaligus memberikan kesannya terhadap perjalanan Stasi Gregorius. Kesan Romo Sri, “pada awalnya tempat ini ndeso.” Tempat ini (Gereja Stasi Gregorius) tidak layak untuk dijadikan sebagai rumah Tuhan. Pada waktu itu, di bawah kepemimpinan Bapak Soter, mereka mencari tempat baru untuk didirikan rumah ibadah. “Tempat ini tidak boleh pindah karena kalau pindah maka pasti akan ada kesulitan yang dijumpai,” demikian Romo. Saya selalu mencari saat yang tepat untuk merenovasi tempat ini menjadi tempat yang layak. Romo Sri juga berharap agar bisa secepatnya terjadi peralihan status stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri. Fokus utama ke depan adalah pendampingan iman umat dalam tugas pastoral. Proses pendampingan iman umat bukanlah hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang tidak gampang.

Lebih lanjut, menurut Romo Sri, keberadaan stasi ini tidak terlepas dari paroki induk. Artinya, seluruh laporan yang dibuat dan dikirim ke keuskupan harus melalui Paroki Hati Maria Tak Bernoda. Di akhir sambutannya, ia mengatakan bahwa tidak seluruh umat yang didampingi secara dekat. Tetapi tulisan di warta stasi setiap minggu menjadi sebuah proses pendampingan secara sederhana.

Di akhir pertemuan itu, Bapak Lastiyo juga menyatakan kepengurusan mereka akan berakhir. Ada idealisme yang dibangun tetapi banyak hal juga yang belum terlaksana secara baik. Karena itu dia mengharapkan agar kepengurusan dewan yang baru nanti akan bekerja secara maksimal dan terutama menghantar stasi ini menuju paroki mandiri.*** (Valery Kopong)

PASKAH: PAS KAH?

Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.
Situasi ini juga masih terasa getaran kegembiraan di saat merayakan minggu palma. Umat yang membanjiri gereja Gregorius terus melambaikan daun-daun palma yang ada di tangannya untuk mengingat kembali peristiwa lampau yang penuh makna. Perayaan misa yang dihadiri oleh ribuan umat ini semakin memarakkan suasana bahkan menghadirkan masa lampau (mengkinikan masa lampau) untuk mengantar umat mendalami kisah-kisah sengsara yang dijalani oleh Yesus.
Setelah merayakan minggu palma, umat semakin merasakan detik-detik terakhir ketika Yesus melewati malam dengan penuh peluh. Tetapi sebelum menjalani sengsara-Nya, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama para murid-Nya. Hari Kamis Putih diperingati secara meriah oleh umat Gregorius. Dalam khotbahnya di hari Kamis Putih itu, Romo Edy menekankan kasih yang tulus yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Untuk mengantar umat memahami kasih, Romo Edy mengajak umat untuk memahami kasih seorang ibu. Kasih ibu luar biasa dan tak terhingga. Ibu selalu membasuh, membersihkan anak-anaknya. Kasih seorang ibu adalah kasih yang tidak mengenal batas. Di sela-sela khotbahnya, Romo Edy mengajak seluruh umat untuk menyanyikan lagu “kasih ibu kepada beta.” Dalam lagu itu, setiap umat sepertinya digiring untuk mengenang masa lampau terutama ketika berada dalam pelukan sang bunda.
“Kasih dari seorang bapak-ibu adalah tulus,” apalagi kasih yang kita terima dari Allah, jauh lebih tulus. Melalui Yesus Putera-Nya ia membagikan kasih kepada kita. Allah rela memberikan Putera-Nya yang tunggal sebagai tebusan atas dosa-dosa umat manusia. Semua ini dilakukan karena kasih. Dalam kasih sayang itu terdapat rasa untuk mencintai dan mencintai berarti setiap orang harus keluar dari dirinya. Yesus telah memperlihatkan kepada kita, bagaimana mencintai orang lain dalam situasi apa pun. Mencintai manusia yang dilakukan oleh Yesus dijalani secara berbeda, yaitu dengan menjalani sengsara, wafat dan bangkit bagi kita. Dengan kasih ekaristis, orang diberi kekuatan untuk memiliki kasih. Mengasihi membuat Dia mampu untuk menahan derita. Yesus mengasihi kita sampai pada kesudahannya. Seperti air yang terus mengalir dan mengairi tempat-tempat yang gersang, demikian juga kasih. Kasih yang telah diperlihatkan Yesus adalah kasih yang terus mengalir dari mata air pengharapan.
Dalam perayaan ekaristi untuk mengenang malam perjamuan terakhir, diadakan juga upacara pembasuhan kaki bagi para murid. Peristiwa pembasuhan kaki ini menjadi tanda kerendahan hati dalam melayani. Yesus telah memperlihatkan kasih dan pelayanan melalui cara-cara sederhana agar mudah diingat dan diaplikasikan dalam kehidupan setiap hari. Seusai perayaan ekaristi, umat juga masih mengikuti perarakan sakramen maha kudus untuk ditaktahkan pada tabernakel sementara. Untuk selanjutnya diadakan doa bergilir (malam tuguran), berjaga sambil berdoa bersama Yesus yang sedang menghadapi bahaya maut yang akan mengancam-Nya.
Keesokan harinya,tepatnya pukul 10.00, umat melaksanakan jalan salib yang mengambil lokasi seputar gereja. Puluhan umat yang umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam, terlihat khusuk mengikuti jalan salib. Di tengah terik yang menyengat, tidak menyurutkan niat umat yang dengan setia mengikutinya dari satu perhentian ke perhentian lain. Di sinilah, umat diajak untuk merenungkan pelbagai peristiwa yang direkam zaman tentang proses hukuman hingga penyaliban dan penguburan Yesus. Sore harinya, pada pukul 15.00, ribuan umat membanjiri gereja untuk mengikuti kisah sengsara dalam ibadat Jumat Agung. Dalam rangkaian ibadat itu, setiap umat diberi kesempatan untuk mencium salib. Satu persatu datang menghampiri salib dan mencium dengan penuh khidmat. Khotbah Romo Kesar lebih menekankan pada nilai pengorbanan yang telah ditunjukkan oleh Yesus kepada manusia. Dengan kematian Yesus, menunjukkan kepada kita, mengapa Anak Allah menderita? Hal ini menjadi perayaan iman dan apa yang dilakukan-Nya sebagai silih dosa sekaligus memberi teladan akan sebuah pengorbanan. Teladan yang telah diperlihatkan oleh Yesus perlu disyukuri dan dihargai.
Pengalaman menderita sengsara seperti yang dialami oleh Yesus telah mengantar kita pada suatu hidup baru, harapan baru melalui Paskah, sebuah inisiatif Allah membangkitkan Yesus Putera-Nya. Di malam Paskah nan syahdu, Romo Herman mengantar umat untuk memahami arti Paskah Yahudi dan Paskah Yesus yang dikenang saat ini. Paskah, Allah Yahwe lewat untuk melawati umat-Nya. Itu berarti Allah bertindak. Dalam arti tertentu, Paskah juga merupakan saat di mana Allah berpihak dan bertindak. Dimulai dari kisah kejadian. Dalam kisah penciptaan, Allah bertindak maka terjadilah sesuatu. Kitab keluaran juga melukiskan di mana Allah bertindak terutama kepada umat Israel yang berhasil keluar dari genggaman dan penindasan Mesir. Nabi Yehezkiel secara terbuka mengisahkan tentang umat Israel yang tetap dicintai oleh Allah. “Kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku menjadi Allah-Mu.”
Allah bertindak berarti Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada manusia yang berdosa. Bukan karena kamu, Aku bertindak tetapi Akulah yang Kudus yang telah kamu najiskan di antara bangsa-bangsa. Allah bertindak, menyucikan kembali manusia dari dosa. Dalam Perjanjian Baru, Paulus menegaskan bahwa kamu telah mati bagi dosa tetapi hidup karena Kristus. Yesus dibangkitkah oleh Allah, itulah iman kita. Allah menerima persembahan diri Yesus secara total di kayu salib. Seperti Yesus yang telah mempersembahkan diri-Nya secara total kepada kita maka pastaslah apabila kita mempersembahkan diri dan segala kekurangan pada Allah maka Allah mau menyelamatkan kita. Sebagai orang yang telah dibaptis, harus menjadi saksi di tengah masyarakat. Kesaksian yang diperlihatkan adalah mau berkorban demi orang lain. Paskah, sudah pas kah buat kita untuk mengalami Putera Allah yang menderita dan bangkit? ***(Valery Kopong)

Selasa, 01 Maret 2011

LOMBA MENULIS ESAI


(terbuka untuk umum)

Keberadaan VOLUNTAS pada beberapa edisi, telah menghantar kita pada sebuah proses pembelajaran tentang bagaimana menulis. Rubrik-rubrik yang disajikan telah membuka mata kita untuk secara jeli membedakan karakter dari masing-masing rubrik. Kelihatannya sama, tetapi jika menyelami lebih jauh maka kita akan menemukan banyak perbedaan sesuai arah dasar dari jenis tulisan tersebut.
Walaupun VOLUNTAS beberapa edisi sudah menemani pembaca, namun disadari bahwa begitu minimnya penulis-penulis yang mengisi rubrik tersebut dengan tulisan. Atas dasar fakta ini maka VOLUNTAS lagi-lagi memberanikan diri untuk membuka “ruang perlombaan” esai. Memang, masih banyak jenis tulisan yang dipelajari, tetapi untuk lebih fokus pada proses penulisan secara mendalam maka, tahap pertama perlombaan secara online ini dipusatkan pada penulisan esai rohani.

Apa itu esai?
Yang dimaksudkan dengan esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Ada dua aspek yang sangat dibutuhkan adalah fakta dan daya imajinasi. Fakta menjadi sumber inpirasi atau yang memunculkan suatu kisah dan dengan daya imajinasi, seorang penulis esai (esais) sanggup mengungkap sebuah fakta dan menganalisisnya secara tajam.
Jenis-jenis esai:
1. Esai Formal: Pemikiran dan analisisnya sangat dipentingkan, ditulis dalam bahasa lugas dan menggunakan bahasa baku.
2. Esai non Formal atau esai personal, sering disebut karya sastra. Gaya bahasanya lebih bebas, pemikiran dan perasaan lebih leluasa masuk ke dalamnya.
Dilihat dari cara mengupas suatu fakta maka esai dibagi menjadi 4 yaitu:
Esai deskripsi, yaitu esai yang hanya terdapat penggambaran sesuatu fakta seperti apa adanya tanpa komentar dari penulisnya
Esai eksposisi, yakni esai yang penulisnya tidak hanya menggambarkan fakta saja, tetapi juga menjelaskan fakta selengkapnya
Esai argumentasi, yakni esai yang bukan hanya menunjukkan fakta tetapi juga menunjukkan permasalahannya dan kemudian menganalisisnya dan mengambil kesimpulan. Esai ini bertujuan memecahkan masalah.
Esai narasi, yakni esai yang menggambarkan sesuatu dalam bentuk urutan yang kronologis dalam bentuk cerita.


Beberapa tema yang dilombakan:

1. Salib: Pengalaman Yesus membagi kasih
2. Menjadi garam dan terang dunia
3. Getzemani, taman pergulatan Yesus
4. Gereja Kristus adalah Gereja Martir
5. Mencari wajah Maria
6. Paskah Yesus, puncak iman orang Katolik

Setiap peserta dapat memilih salah satu tema ini untuk digarap. Panjang tulisan, 3 halaman kuarto. Diketik 1,5 spasi dan dikirim paling lambat 5 April 2011. Tulisan yang dikirim, disertai dengan CV lengkap. Dikirim melalui email: gregoriusvoluntas@yahoo.com Ditulis dengan menggunakan bahasa populer. Panitia akan menyeleksi seluruh naskah yang masuk. Panitia memilih 3 orang sebagai pemenang dan akan diberi hadiah oleh VOLUNTAS (bukan dalam bentuk uang). Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat. Hasilnya akan dipublikasikan dalam majalah VOLUNTAS edisi berikutnya.
Contoh Esai rohani:
Z A K H E U S
Oleh: Valery Kopong*
KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya. Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus) karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.
Rumah Zakheus adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya. Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.
Kerinduan terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada “mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram, menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias. Zakheus tentu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini, kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding, siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan “Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan “ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa saja yang membuka diri pada keselamatan.
Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum. Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih korupsi, apa kata dunia?” ***



Kamis, 24 Februari 2011

SANG GURU MEMANGGIL



Selamat pagi Yesus.
Mari masuk. Maaf, rumah-Ku sederhana. Ada apa? Kok pagi-pagi begini kunjungi Aku. Dari mana ni?
Ya. Kami dari Majalah Voluntas. Mau meminta waktu untuk berbicara dengan Yesus. Kira-kira ada waktu engga?
                Saya selalu ada waktu untuk siapa saja yang datang kepada-Ku. Kalau boleh tahu,  wawancara dalam kaitan dengan apa ya?
Dalam kaitan dengan seputar pemanggilan murid-murid pertama.  Hasil wawancara akan dipublikasikan lewat Voluntas. Kalau saya baca dalam Kitab Suci, ada 12 rasul yang dipanggil dan dipilih oleh Yesus. Kira-kira apa tujuan Yesus membentuk kedua belas Rasul?
                Tujuan pemanggilan dan pemilihan rasul-rasul sebenarnya sederhana saja. Mereka bisa menemani Saya dalam melakukan karya-karya pewartaan dan mewartakan kerajaan Allah di tengah masyarakat. Mereka inilah yang menemani dan membantu dan bahkan pada akhirnya melanjutkan karya-karya-Ku di dunia ini setelah saya menjalani sengsara, wafat, bangkit dan naik ke sorga. Banyak kisah yang ditulis dalam teks Kitab Suci sebenarnya merupakan buah penuturan mereka kepada kelompok atau komunitas penulis.
Dalam memanggil kedua belas Rasul, Yesus memilih kebanyakan dari para penjala ikan. Mungkin ada maksud lain dibalik pemanggilan orang-orang sederhana?
                Perlu diketahui bahwa orang-orang sederhana  yang menjadi target pemilihan Saya. Mengapa? Kalau Anda baca dalam Kitab Suci, kerajaan Allah hanya dinyatakan kepada mereka yang sederhana, miskin secara hartawi tetapi kaya akan pengalaman perjumpaan dengan Allah sendiri. Kesadaran orang-orang kecil lebih tajam dan peka terhadap sentuhan kasih Allah sendiri. Mereka lebih terbuka untuk menerima tawaran Allah. Tawaran-tawaran Allah dan sentuhan Allah sendiri dapat dirasakan lewat pengalaman hidup harian. Ketika mereka mengalami kesuksesan, mereka memanjatkan syukur kepada Tuhan dan demikian juga pada ketika mengalami kegagalan, semuanya mereka syukuri sebagai sesuatu yang terberi dari Allah.
Saat ini keberlangsungan Gereja di bawah bimbingan para uskup dan imam-imam. Bagaimana Yesus melihat cara kerja para uskup dan imam-imam saat ini dalam menggembalakan domba-domba-Nya?  
                Saya sendiri salut terhadap perkembangan Gereja saat ini. Walaupun seringkali mengalami tantangan dan hambatan tetapi mereka tetap maju. Satu hal yang menjadi perhatian yakni ada ketergantungan yang sangat kuat terhadap Allah sendiri yang senantiasa membimbing umat-Nya dengan Roh-Nya sendiri.  Roh Kudus seperti yang Saya janjikan dulu dan sudah turun pada peristiwa Pentekosta menjadi momentum iman yang sangat penting dan menjadikan Gereja ini semakin “bernyawa.” Keberadaan Gereja, walaupun dihambat tetapi semakin kokoh berdiri. Saya ibaratkan keberadaan Gereja sebagai sebuah pohon asam yang tumbuh di tengah himpitan batu-batu. Karena semakin dihimpit oleh batu maka akarnya tidak mungkin melebar karena sudah diblokir oleh tumpukan bebatuan. Di sini, pohon asam tersebut, mau tidak mau akarnya harus menukik ke bawah, dan dengan itu ia semakin kuat. Ketika datangnya hujan dan badai, ia (pohon asam) tetap kokoh berdiri, tanpa diombang-ambingkan oleh apa dan siapapun. Gereja juga sama. Gereja selalu berakar dalam iman akan Yesus dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus menjadi fungsi penyerta untuk setiap perjalanan Gereja sampai akhir zaman. 
Pada zaman ini, semakin banyak umat yang bertambah dari waktu ke waktu, tetapi panggilan untuk menjadi imam ataupun biarawan/biarawati semakin sulit. Dan juga mereka yang sudah terpanggil, banyak yang putus di tengah jalan. Bagaimana pendapat Yesus tentang permasalahan ini?
                Untuk saat ini, menjaring orang untuk masuk ke biara memang agak sulit. Sulit karena kehidupan anak-anak sekarang sudah dipengaruhi oleh pelbagai hal yang serba modern sehingga ada keengganan  untuk melepaskan hal-hal duniawi yang mengikatnya. Memang, para pemimpin baik di biara maupun  di seminari-seminari  harus berlapang dada kalau memang para frater ataupun suster yang masih terikat dengan kaul sementara, harus meninggalkan biara. Tapi itu semua harus dilihat secara positif. Mereka yang mantan, entah mantan frater atau suster, kalau pun keluar tetap mereka memberikan kontribusi secara penuh pada Gereja. Gereja harus terbuka menerima mereka sebagai agen-agen pastoral yang sudah dibentuk secara matang. Anda bisa lihat di Gereja Santo Gregorius, ada kelompok mantan frater, ada yang eks OFM, Pr, SCJ dan SVD serta beberapa ordo lain, telah membentuk komunitasnya sendiri. Kelompok “Serviamus” merupakan salah satu contoh yang baik bahwa mereka yang pernah mau menjadi imam tapi gagal, sudah mengukuhkan komitmennya untuk melayani umat, tidak hanya dari paduan suara tetapi juga sebagai organis bahkan sebagai penulis di majalah Voluntas.  
                Kemudian menyangkut beberapa imam maupun suster yang meninggalkan imamat dan kaul-kaulnya, itu juga dilihat sebagai bagian dari panggilan itu sendiri. Barangkali dalam proses awal mereka sendiri tidak menggali panggilan hidupnya secara radikal sehingga pada akhirnya menentukan pilihan yang lain. Memang,  pilihan untuk membelot dari panggilan adalah pilihan pribadi dan Allah senantiasa membimbing setiap manusia, dalam keputusan apa pun yang dilakukan. Saya juga salut kepada imam, biarawan / biarawati yang bertahan hidupnya sampai 25 tahun, 40 tahun, 60 tahun dan pada akhirnya meninggal dalam imamatnya. Ok, salam untuk seluruh umat di Stasi Santo Gregorius.***(Valery Kopong)

PAULUS DAN PENGALAMAN PASSING OVER




Pengantar Redaksi: Paulus yang sebelum pertobatannya dikenal sebagai Saulus, lahir di Tarsus, Kilikia, sebuah pusat perdagangan terkenal di bagian Tenggara Asia Kecil (sekarang wilayah Turki). Tanggal lahir Paulus tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ia dilahirkan sekitar  tahun 10 sesudah  Masehi. Paulus adalah seorang Israel dari suku Benyamin dan disunat pada hari kedelapan (Filipi 3:5). Dalam teks yang sama ini Paulus mengatakan bahwa ia adalah seorang Farisi yang berpendirian teguh. Dikatakan bahwa Paulus menyandang dua nama yakni nama Romawi (Paulus) dan nama Yahudi (Saulus) (Kis 7:58; 8:1).  Melalui proses tawar-menawar  waktu yang sangat lama, tim Redaksi Voluntas berhasil mewawancarainya di selah-selah keheningan. Sayangnya, fotografer tidak bisa membidik wajahnya karena memang ia tak kelihatan lagi di muka bumi ini.
=====================================================================================
Redaksi Voluntas: Selamat pagi Pak Paulus!!
Paulus: Selamat pagi juga. Ada apa ni? Pagi-pagi sudah bertemu dengan saya? Dari mana kalian?
Redaksi Voluntas: Kami dari Majalah Voluntas, mau bertemu Kang Paul untuk berbicara seputar masa lampau Bapak. Boleh kan?
Paulus: Boleh aja. Tapi saya malu kalau pengalaman masa lalu diungkit kembali. Namun demi pembelajaran umat, saya bisa menceritakan seluruh apa yang saya alami. Saya berusaha untuk mengingat kembali apa yang saya alami. Maklum, saya semakin tua, tubuh semakin rapuh dan ingatan semakin melemah.  
Redaksi Voluntas: Bolehkah Kang Paul menceritakan sedikit mengenai kehidupan awal sebelum mengalami pertobatan?
Paulus: Saya benci terhadap orang-orang yang menamakan diri pengikut Kristus. Awal kebencian ini merupakan momentum hitam bagi saya untuk menutup diri dan berusaha melenyapkan siapa saja yang percaya bahkan mengikuti ajaran Yesus. Dua aspek yang sangat terkenal dalam kehidupan saya sebelum percaya pada Kristus adalah ketaatan  terhadap Hukum Taurat sebagai seorang Farisi dan penganiayaan mereka yang percaya akan Kristus.  Bisa Anda baca dalam Filipi 3:5-6;  Galatia 1:13, 23;      1 Kor 15:9. Saya menggambarkan ketaatan saya pada Hukum Musa sebagai tidak bercacat (Filipi 3:6). Ketaatan saya yang berlebihan ini, barangkali membuka peluang bagi saya untuk membenci hukum-hukum dan ajaran-ajaran lain.
                                                Dalam perjalanan ke Damsyik untuk meneruskan penganiayaan terhadap mereka yang menamakan diri sebagai pengikut Yesus dan ajaran, saya mengalami peristiwa bersejarah yang dapat mengubah hidupku sendiri. Saya terjatuh dari kuda karena tersorot oleh sinar yang amat tajam yang mengarah pada mataku. Saya terjatuh bersama kuda kesayangan. Saya tidak sadar selama beberapa hari. Pengalaman ini bukan semata-mata pewahyuan diri Yesus; pengalaman itu juga merupakan suatu panggilan untuk memberitakan Yesus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi.
Redaksi Voluntas: Bagaimana Kang Paul bisa melakukan pewartaan terutama memberitakan tentang Yesus dan ajaran-Nya? Bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya?
Paulus: Pengalaman tragis yang mengubah hidupku seperti yang saya paparkan di atas, terjadi sekitar tahun 35 Masehi. Dan tentang reaksi umat sekitar tentu berbeda. Siapa yang tidak kaget kalau orang yang sebelumnya tidak percaya akan Yesus bahkan membunuh orang-orang yang percaya pada-Nya tetapi kemudian berbalik untuk bersahabat dengan mereka yang percaya pada-Nya dan saya sendiri menjadi pewarta tentang Yesus. Reaksi mereka tentu senang terutama komunitas-komunitas yang percaya akan Yesus. 
Kurang lebih tiga tahun kemudian, karya misioner saya pusatkan di sekitar kota Damsyik dan daerah bagian selatan dan timur kota itu. Saya sendiri memulai karya-karya misioner di daerah-daerah yang penduduknya bukan Yahudi. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan pengalaman saya akan Yesus yang bangkit. Seperti kehidupan Yesus, karya-Nya, sengsara dan bangkit demi seluruh umat manusia tanpa membedakan kelompok-kelompok tertentu maka saya sendiri juga dituntut dan dituntun untuk keluar dari diri untuk melawan ego sektoral. Pengalaman-pengalaman saya ketika mewartakan karya di tengah kelompok bukan Yahudi dapat memberi spirit baru dan saya melihat karakter kelompok-kelompok yang berbeda dengan lingkungan Kristen-Yahudi dari Gereja Yerusalem.
Redaksi Voluntas:   Kami mendapat informasi bahwa setelah bertobat dan menjadi pewarta sabda, Kang sendiri ke Yerusalem. Di sana Kang bertemu dengan Petrus dan Yakobus. Setelah pulang dari Yerusalem, tempat yang mana lagi yang menjadi sasaran pewartaan Kang?
Paulus:  Setelah kembali dari kunjungan pertama ke Yerusalem, saya berkarya di daerah-daerah Siria dan Kilikia. Saya berkarya di sana selama 10 tahun (tahun 38-48 Masehi). Kegiatan ini saya anggap sebagai misi pertama. Seluruh kegiatan saya pusatkan di Antiokia dan  Siria. Di luar Yerusalem, Antiokia menjadi pusat pewartaan terbesar kekristenan perdana pada masa itu. Jemaat di Antiokia terdiri dari kalangan bangsa bukan Yahudi yang bertobat.
Redaksi Voluntas: Mengapa Gereja mengakui Paulus sebagai rasul terbesar dan bukannya Petrus?
Paulus: Ya, saya sendiri tidak terlalu tahu. Itu kan julukan yang diberikan Gereja, bukan saya sendiri yang menjuluki diri sendiri sebagai rasul terbesar. Barangkali Gereja melihat pengalaman pertobatan saya dan keberanian saya untuk keluar dari lingkungan Yahudi untuk mewartakan Yesus. Kalau Petrus sendiri mewartakan Yesus dan ajaran-Nya dalam lingkungan orang-orang  yang bersunat, sedangkan saya sendiri mewartakan Yesus dan ajaran-Nya di lingkungan orang-orang yang tidak bersunat.Di sinilah saya mengalami pengalaman passing over  (pengalaman beralih).***(Valery Kopong) 
                 

TAWA SANG GURU



Oleh: Valery Kopong*
Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa?  Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
                Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu,  mengisahkan  kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
                Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya  Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.
                Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
                Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.  Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.
                Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil,  sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.
                Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
                Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.   Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru  memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***