widget

Sabtu, 11 September 2010

ANAWIM

Oleh: Valery Kopong*

Dulu dia dikenal sebagai uskup orang-orang miskin. Keberpihakkan terhadap orang-orang miskin terasa bahkan tumpuan hidup dan perjuangan orang kecil ada di atas pundaknya. Sesering mungkin ia turun dari istana keuskupan dan boleh membaur dengan mereka yang dilihat sebagai limbah politik penguasa. Keterlibatan sang uskup ini berawal dari pengalaman hidup bersama mereka dan diperkuat dengan belajar teologi pembebasan (theology of liberalism). Arah gerak perjuangan teologi dengan menempatkan kaum anawim (orang-orang kecil) sebagai manusia yang perlu diperhatikan.
Di tahta keuskupan itu mungkin terlalu jauh jaraknya antara ia dan orang-orang miskin. Karena itu dalam refleksi panjang, ia pada akhirnya memutuskan diri untuk tidak lagi menjadi uskup. Gereja seperti geger dengan kuputusan yang sangat radikal dari seorang uskup. Tentunya keputusan ini berseberangan dengan Codex Iuris Canonici (kitab Hukum Kanonik), apalagi peletakan jabatan sebagai uskup hanya untuk merebut kursi kepresidenan. Ia adalah Mgr. Fernando Lugo, SVD. Sepertinya tidak ada motivasi lain, selain memperjuangkan kepentingan masyarakat umum.
Ia telah meninggalkan biara dan bertarung dalam pusaran politik Paraguay. Dan dalam proses pertarungan itu, ia memenangkan pemilihan umum secara mutlak. Suara mayoritas mengalir ke kotaknya dan ini menunjukkan betapa kerinduan yang luar biasa dari kaum marginal untuk ada bersama dia sebagai presiden dan rakyat. Keputusan yang diambil seakan mencoreng jajaran hirarki Gereja tetapi mungkin ia mempertimbangkan persoalan ini dari sisi kemanusiaan. Roh mana yang menggerakan arah perubahan keputusan yang secara terang-terangan bertentangan dengan Hukum Kanonik?
Di rumah sewaan, ia hidup beberapa bulan sampai menunggu pertarungan politik. Sebelum meletakkan jabatan sebagai uskup, ia hanya berseru dibalik mimbar dan itu mungkin tidak didengar oleh para penguasa. Kini resmi ia terlibat secara langsung dalam politik praktis. Pengunduran dirinya pada 25 Desember 2006 lalu, sepertinya membangunkan banyak orang dari tidur. Para politikus kawakan mulai merasa cemas dan melihat figur Fernando Lugo sebagai saingan berat dalam pemilihan umum nanti. Sementara itu orang-orang kecil terutama para petani yang telah mendapatkan tanah miliknya berkat pembelaan uskup Lugo, sepertinya merindukan sekaligus menitipkan masa depan mereka pada pundaknya. Harapan rakyat Paraguay memiliki alasan mendasar yakni bahwa para politikus dan pemangku kekuasaan di sana, tidak lagi dipercaya untuk mengembalikan kehidupan sosial, ekonomi dan politik secara normal.
Fernando Lugo adalah seorang pegiat aksi kemanusiaan, pembela kaum lemah. Keterlibatannya dalam bidang sosial lebih diinspirasi oleh pengetahuan akan ilmu sosial yang digeluti di kota Roma. Di sini, dapat dilihat bahwa ia telah memadukan secara harmonis antara ilmu yang dipelajari dan perhadapanannya dengan situasi sosial yang tak menentu. Sebagai imam dan uskup yang tertahbis, ia pasti gelisah saat menyaksikan kehidupan sosial di mana terdapat perlakuan yang tidak adil terhadap rakyat lemah. Sebagai imam dan uskup, ia hanya terlibat membela mereka dengan seruan politik moral. Tetapi apakah seruan politik moral dari mimbar sabda dan dari balik biara sudah cukup untuk memberikan pembelaan terhadap mereka?
Dalam refleksi dan pergulatan dengan hidup dan panggilannya pada saat mengumumkan dirinya menjadi calon presiden Paraguay, Fernando Lugo mengatakan bahwa “katedral saya bukan lagi sebuah Gereja keuskupan, melainkan seluruh negara adalah katedral saya.” Refleksi yang bernas ini mau menunjukkan kepada publik bahwa kursi kekuasaannya sedang mengalami “passing over”, semangat beralih, dan imamatnya tidak lagi “meruang” dalam biara dan wilayah keuskupan yang ditangani tetapi negara Paraguay akan dijadikan sebagai sebuah “keuskupan” dengan merangkum pelbagai orang dari latar belakang budaya, agama dan kelas sosial yang berbeda.
Semangat beralih yang sedang dilakoni oleh Lugo, yakni dari kehidupan religius ke kehidupan politik praktis, mungkin mengadopsi semangat beralih Yesus yang berani menanggalkan ke-Allahan-Nya sehingga bisa membaur dengan manusia. Penghampaan diri-Nya sebagai hamba menunjukkan keterlibatannya yang mendalam akan hidup dan kehidupan manusia. Lain Yesus, lain Lugo. Kalau Yesus berani menghampakan diri-Nya sebagai manusia bahkan sebagai hamba, maka Lugo berani meninggikan diri untuk menjadi calon presiden. Tetapi kepemimpinan yang bakal diraih, menjadikan ia seorang yang rendah hati dan bertanggung jawab terhadap kehidupan publik. Ia hanya menghantarkan rakyat Paraguay untuk menggapai suatu kehidupan yang lebih layak dan mematangkan demokrasi. Cita-cita yang dibangun merupakan sebuah sublimasi antara kehidupan religius dan politik praktis.
Filsuf Nietzsche yang pernah memproklamirkan tentang “kematian Allah,” memberikan konsep utamanya kepada publik yaitu “Will to Power,” kehendak untuk berkuasa. Konsep ini diyakini sebagai dasar dari seluruh impuls manusia dalam bertindak. Tetapi dalam konsep Nietzsche ini membuka peluang bagi sang pemimpin untuk bertindak otoriter dan pretorian. Kita tak tahu pasti tentang gerak perjalanan politik Lugo. Apakah dengan kehendaknya ia berkuasa dan menjadikan dirinya sebagai orang yang otoriter dan tidak mengembalikan kehidupan ekonomi rakyat secara normal?
Keputusan seorang uskup meletakkan jabatannya dan mau terjun ke dunia politik praktis, telah mengguncang hirarki. Tetapi keputusan yang rasional itu sedang membawa dia ke tempat yang lapang. Atau meminjam bahasa Psalmis (pemazmur), “Ia mengantar aku ke tempat yang lapang.” Dunia politik baginya, adalah tempat lapang di mana ia secara jernih melihat rakyat yang terpuruk secara ekonomis dan politis dengan bantuan kehendak Allah. Seperti Muder Teresa dari Kalkuta yang pada saat meninggalkan biaranya dan hidup membaur dengan orang-orang miskin, mendapat sorotan yang tajam. Tetapi apa yang dilakukan, diyakini sebagai kehendak Allah sendiri dan pada akhirnya ia berhasil mewujudkan cinta Allah melalui orang-orang susah. Mungkinkah Lugo seperti Muder Teresa menjadi terkenal karena solidaritas dan opsinya terhadap rakyat biasa? Dulu ia dikenal sebagai uskup untuk masyarakat “sandal jepit” tetapi sekarang ia dikenal sebagai presiden untuk masyarakat sandal jepit. Walaupun sebagai presiden tetapi kesederhanaan tetap ia pancarkan dan bahkan gaji bulanan sang presiden tidak ia terima, semuanya demi orang-orang miskin. ***

Tidak ada komentar: