widget

Minggu, 22 Mei 2011

ROMO PEMBAHARU


Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.

Biasanya di dalam sebuah perpisahan, selalu ada pesan dan kesan yang diutarakan. Yang jelas, tidak semua umat memberikan kesan dan pesan terhadap Romo Sri tetapi diminta dari beberapa orang pengurus lingkungan, wilayah dan ketua-ketua seksi memberikan pesan dan kesan. Dari beberapa orang yang memberikan kesan terhadap Romo Sri, ada titik kesamaan terutama menyangkut sifat Romo Sri yang dikenal “galak.” Sifat “galak” seperti yang dituturkan oleh beberapa orang itu dimaknai secara berbeda. Karena memang, sifat “galak” yang diperlihatkan Romo Sri selama berkarya di Paroki Hati Maria Tak Bernoda, dilihat oleh Pak Totok sebagai sesuatu hal yang baik. Menurutnya, “figur kenabian” bisa ditemukan dalam diri Romo Sri. Ia terkadang “galak” tetapi juga sanggup mengajak umat untuk bekerja sama. Dan sifat galak dan marah itu dapat menumbuhkan semangat baru.

Bapak Dolfi Mamahit, yang mewakili ketua-ketua lingkungan memberi kesan juga terhadap Romo Sri selama beberapa tahun berada di Paroki Sta. Maria dan melayani stasi Gregorius. Romo Sri adalah “Romo pembaharu. Biasanya memimpin misa selalu menarik dan hal ini membuat umat Gregorius merasa terbantu,” demikian Dolfi. Hal ini diperkuat juga oleh Bapak Pranoto, yang mewakili ketua-ketua wilayah. Menurutnya, “kehadiran Romo Sri sangat membantu umat terutama dalam membaca dan mendalami Kitab Suci. Romo selalu mewajibkan umat untuk selalu membawa dan membaca Kitab Suci pada setiap hari Minggu. Tidak hanya membawa Kitab Suci saja tetapi lebih dari itu diharapkan agar umat bisa membaca dan mendalami sabda Tuhan. Dengan mengakrabi Kitab Suci maka umat diarahkan untuk berpikir fokus dan terarah pada suatu tujuan. Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan tempat paling pas bagi umat untuk menimbah kekuatan darinya.

Dengan mewajibkan untuk membaca Kitab Suci, berarti ia mengarahkan umat untuk mengenal, siapa itu Yesus, Sang Sabda yang hidup. Hal senada juga diperkuat oleh Pak Totok yang diminta untuk mewakili ketua-ketua seksi dalam memberikan kesan kepada Romo Sri. “Allah terkadang dialami oleh umat sangat jauh, tetapi juga terkadang dirasa dekat.” Di samping itu, menurut Bapak Dalyo, yang dipercayakan untuk memberikan kesan mewakili anggota dewan stasi, mengatakan bahwa dengan kegalakan Romo Sri, kita dipacu untuk mendapatkan pengalaman baru. Kegigihan Romo Sri untuk mempertahankan tempat ibadah dan upaya menatanya menjadi sebuah tempat ibadah yang layak.

Pada kesempatan itu Romo Sri diminta untuk memberikan sambutan terakhir, sekaligus memberikan kesannya terhadap perjalanan Stasi Gregorius. Kesan Romo Sri, “pada awalnya tempat ini ndeso.” Tempat ini (Gereja Stasi Gregorius) tidak layak untuk dijadikan sebagai rumah Tuhan. Pada waktu itu, di bawah kepemimpinan Bapak Soter, mereka mencari tempat baru untuk didirikan rumah ibadah. “Tempat ini tidak boleh pindah karena kalau pindah maka pasti akan ada kesulitan yang dijumpai,” demikian Romo. Saya selalu mencari saat yang tepat untuk merenovasi tempat ini menjadi tempat yang layak. Romo Sri juga berharap agar bisa secepatnya terjadi peralihan status stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri. Fokus utama ke depan adalah pendampingan iman umat dalam tugas pastoral. Proses pendampingan iman umat bukanlah hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang tidak gampang.

Lebih lanjut, menurut Romo Sri, keberadaan stasi ini tidak terlepas dari paroki induk. Artinya, seluruh laporan yang dibuat dan dikirim ke keuskupan harus melalui Paroki Hati Maria Tak Bernoda. Di akhir sambutannya, ia mengatakan bahwa tidak seluruh umat yang didampingi secara dekat. Tetapi tulisan di warta stasi setiap minggu menjadi sebuah proses pendampingan secara sederhana.

Di akhir pertemuan itu, Bapak Lastiyo juga menyatakan kepengurusan mereka akan berakhir. Ada idealisme yang dibangun tetapi banyak hal juga yang belum terlaksana secara baik. Karena itu dia mengharapkan agar kepengurusan dewan yang baru nanti akan bekerja secara maksimal dan terutama menghantar stasi ini menuju paroki mandiri.*** (Valery Kopong)

PASKAH: PAS KAH?

Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.
Situasi ini juga masih terasa getaran kegembiraan di saat merayakan minggu palma. Umat yang membanjiri gereja Gregorius terus melambaikan daun-daun palma yang ada di tangannya untuk mengingat kembali peristiwa lampau yang penuh makna. Perayaan misa yang dihadiri oleh ribuan umat ini semakin memarakkan suasana bahkan menghadirkan masa lampau (mengkinikan masa lampau) untuk mengantar umat mendalami kisah-kisah sengsara yang dijalani oleh Yesus.
Setelah merayakan minggu palma, umat semakin merasakan detik-detik terakhir ketika Yesus melewati malam dengan penuh peluh. Tetapi sebelum menjalani sengsara-Nya, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama para murid-Nya. Hari Kamis Putih diperingati secara meriah oleh umat Gregorius. Dalam khotbahnya di hari Kamis Putih itu, Romo Edy menekankan kasih yang tulus yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Untuk mengantar umat memahami kasih, Romo Edy mengajak umat untuk memahami kasih seorang ibu. Kasih ibu luar biasa dan tak terhingga. Ibu selalu membasuh, membersihkan anak-anaknya. Kasih seorang ibu adalah kasih yang tidak mengenal batas. Di sela-sela khotbahnya, Romo Edy mengajak seluruh umat untuk menyanyikan lagu “kasih ibu kepada beta.” Dalam lagu itu, setiap umat sepertinya digiring untuk mengenang masa lampau terutama ketika berada dalam pelukan sang bunda.
“Kasih dari seorang bapak-ibu adalah tulus,” apalagi kasih yang kita terima dari Allah, jauh lebih tulus. Melalui Yesus Putera-Nya ia membagikan kasih kepada kita. Allah rela memberikan Putera-Nya yang tunggal sebagai tebusan atas dosa-dosa umat manusia. Semua ini dilakukan karena kasih. Dalam kasih sayang itu terdapat rasa untuk mencintai dan mencintai berarti setiap orang harus keluar dari dirinya. Yesus telah memperlihatkan kepada kita, bagaimana mencintai orang lain dalam situasi apa pun. Mencintai manusia yang dilakukan oleh Yesus dijalani secara berbeda, yaitu dengan menjalani sengsara, wafat dan bangkit bagi kita. Dengan kasih ekaristis, orang diberi kekuatan untuk memiliki kasih. Mengasihi membuat Dia mampu untuk menahan derita. Yesus mengasihi kita sampai pada kesudahannya. Seperti air yang terus mengalir dan mengairi tempat-tempat yang gersang, demikian juga kasih. Kasih yang telah diperlihatkan Yesus adalah kasih yang terus mengalir dari mata air pengharapan.
Dalam perayaan ekaristi untuk mengenang malam perjamuan terakhir, diadakan juga upacara pembasuhan kaki bagi para murid. Peristiwa pembasuhan kaki ini menjadi tanda kerendahan hati dalam melayani. Yesus telah memperlihatkan kasih dan pelayanan melalui cara-cara sederhana agar mudah diingat dan diaplikasikan dalam kehidupan setiap hari. Seusai perayaan ekaristi, umat juga masih mengikuti perarakan sakramen maha kudus untuk ditaktahkan pada tabernakel sementara. Untuk selanjutnya diadakan doa bergilir (malam tuguran), berjaga sambil berdoa bersama Yesus yang sedang menghadapi bahaya maut yang akan mengancam-Nya.
Keesokan harinya,tepatnya pukul 10.00, umat melaksanakan jalan salib yang mengambil lokasi seputar gereja. Puluhan umat yang umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam, terlihat khusuk mengikuti jalan salib. Di tengah terik yang menyengat, tidak menyurutkan niat umat yang dengan setia mengikutinya dari satu perhentian ke perhentian lain. Di sinilah, umat diajak untuk merenungkan pelbagai peristiwa yang direkam zaman tentang proses hukuman hingga penyaliban dan penguburan Yesus. Sore harinya, pada pukul 15.00, ribuan umat membanjiri gereja untuk mengikuti kisah sengsara dalam ibadat Jumat Agung. Dalam rangkaian ibadat itu, setiap umat diberi kesempatan untuk mencium salib. Satu persatu datang menghampiri salib dan mencium dengan penuh khidmat. Khotbah Romo Kesar lebih menekankan pada nilai pengorbanan yang telah ditunjukkan oleh Yesus kepada manusia. Dengan kematian Yesus, menunjukkan kepada kita, mengapa Anak Allah menderita? Hal ini menjadi perayaan iman dan apa yang dilakukan-Nya sebagai silih dosa sekaligus memberi teladan akan sebuah pengorbanan. Teladan yang telah diperlihatkan oleh Yesus perlu disyukuri dan dihargai.
Pengalaman menderita sengsara seperti yang dialami oleh Yesus telah mengantar kita pada suatu hidup baru, harapan baru melalui Paskah, sebuah inisiatif Allah membangkitkan Yesus Putera-Nya. Di malam Paskah nan syahdu, Romo Herman mengantar umat untuk memahami arti Paskah Yahudi dan Paskah Yesus yang dikenang saat ini. Paskah, Allah Yahwe lewat untuk melawati umat-Nya. Itu berarti Allah bertindak. Dalam arti tertentu, Paskah juga merupakan saat di mana Allah berpihak dan bertindak. Dimulai dari kisah kejadian. Dalam kisah penciptaan, Allah bertindak maka terjadilah sesuatu. Kitab keluaran juga melukiskan di mana Allah bertindak terutama kepada umat Israel yang berhasil keluar dari genggaman dan penindasan Mesir. Nabi Yehezkiel secara terbuka mengisahkan tentang umat Israel yang tetap dicintai oleh Allah. “Kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku menjadi Allah-Mu.”
Allah bertindak berarti Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada manusia yang berdosa. Bukan karena kamu, Aku bertindak tetapi Akulah yang Kudus yang telah kamu najiskan di antara bangsa-bangsa. Allah bertindak, menyucikan kembali manusia dari dosa. Dalam Perjanjian Baru, Paulus menegaskan bahwa kamu telah mati bagi dosa tetapi hidup karena Kristus. Yesus dibangkitkah oleh Allah, itulah iman kita. Allah menerima persembahan diri Yesus secara total di kayu salib. Seperti Yesus yang telah mempersembahkan diri-Nya secara total kepada kita maka pastaslah apabila kita mempersembahkan diri dan segala kekurangan pada Allah maka Allah mau menyelamatkan kita. Sebagai orang yang telah dibaptis, harus menjadi saksi di tengah masyarakat. Kesaksian yang diperlihatkan adalah mau berkorban demi orang lain. Paskah, sudah pas kah buat kita untuk mengalami Putera Allah yang menderita dan bangkit? ***(Valery Kopong)